lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita

World News

Jumat, 06 Januari 2012

PENGANTAR SEJARAH TEORI KRSIS

Anwar Shaikh
Pendahuluan
Makalah ini adalah tentang sejarah teori krisis. Secara umum, istilah “krisis” seperti yang digunakan di sini, merujuk kepada serangkaian kegagalan yang bersifat umum dalam hubungan ekonomi dan politik reproduksi kapitalis. Secara khusus, krisis yang hendak kita selidiki adalah yang didorong dari dalam sistem ini sendiri, oleh prinsip-prinsip bekerjanya sendiri. Seperti yang akan kita lihat, adalah watak produksi kapitalis untuk terus rentan terhadap berbagai macam gangguan dan kerusakan yang berasal dari dalam dan luar. Tetapi hanya di waktu-waktu tertentu saja “kejutan” ini bisa mengakibatkan krisis umum. Ketika sistem ini sehat, ia akan cepat pulih dari berbagai macam kemerosotan; tetapi ketika ia tidak sehat, hampir apa saja bisa memicu keruntuhannya. Apa yang hendak kita kaji adalah berbagai penjelasan yang berbeda-beda tentang bagaimana dan kenapa sistem ini selalu sakit.
I. Reproduksi dan Krisis
Lihat, betapa anehnya masyarakat kapitalis ini. Ia adalah sebuah jaringan sosial yang kompleks dan bergantung satu sama lain, yang reproduksinya memerlukan pola saling melengkapi yang seksama antar berbagai aktivitas produktif yang berbeda-beda: tetapi berbagai aktivitas itu dilakukan oleh ratusan ribu individu kapitalis yang hanya peduli dengan kerakusan pribadi mereka untuk mencari untung. Ia adalah sebuah struktur kelas, di mana keberlanjutan dari kelas kapitalis memerlukan keberlanjutan dari kelas pekerja: dan tidak ada garis darah, tradisi atau prinsip religius apapun yang mengatur siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Ia adalah sebuah komunitas manusia yang kooperatif, tetapi pada saat yang sama, ia memperlawankan satu dengan yang lain: kapitalis melawan pekerja, tetapi juga kapitalis melawan kapitalis dan pekerja melawan pekerja.
Pertanyaan yang sangat sulit tentang masyarakat yang seperti ini bukanlah kenapa ia akan tumbang, tetapi kenapa ia terus berfungsi. Dalam hal ini, penting untuk menyadari bahwa penjelasan apapun tentang bagaimana kapitalisme mereproduksi dirinya adalah sama (secara implisit atau eksplisit) dengan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana dan kenapa non-reproduksi terjadi, dan sebaliknya: dengan kata lain, analisa terhadap reproduksi dan analisa terhadap krisis tidak dapat dipisahkan. Ini benar, terlepas dari apakah teori tertentu menjelaskan hubungan ini secara eksplisit atau tidak.
Dalam sejarah pemikiran ekonomi, kita bisa membedakan tiga macam analisa terhadap reproduksi kapitalis. Yang pertama dan paling populer adalah gagasan bahwa kapitalisme bisa mereproduksi dirinya sendiri secara otomatis. Ia bisa lancar dan efisien (teori neoklasik) atau ia bisa tidak menentu dan boros (Keynes), tetapi ia bisa menyeimbangkan dirinya sendiri. Di atas semuanya, tidak ada batas yang pasti dari sistem kapitalis atau keberadaan historisnya: apabila ia dibiarkan bekerja sendiri (teori neoklasik) atau dikelola secara benar (Keynes), maka ia bisa abadi. Ini tentu saja selalu menjadi konsepsi yang dominan dalam teori borjuis.
Posisi yang kedua memiliki titik pijak yang berlawanan: di sini dinyatakan bahwa sistem kapitalis tidak bisa memperluas dirinya sendiri. Ia mesti tumbuh untuk bertahan hidup, tetapi ia memerlukan sumber permintaan dari luar (seperti dunia non-kapitalis) agar bisa terus tumbuh. Ini berarti, pada akhirnya, reproduksinya diatur oleh faktor-faktor di luar sistem: batas dari sistem itu berada di luar dirinya. Berbagai mazhab konsumsi-kurang (underconsumption), termasuk varian Marxisnya, berasal dari garis pemikiran yang seperti ini.
Terakhir, ada posisi yang menyatakan bahwa sekalipun kapitalisme bisa memperluas dirinya sendiri, tetapi proses akumulasi memperdalam kontradiksi internal yang mendasarinya, sampai ia meledak dalam sebuah krisis: batas kapitalisme ada dalam dirinya sendiri. Garis pemikiran ini hampir secara eksklusif Marxis, dan mencakup penjelasan tentang krisis dengan argumen “jatuhnya tingkat keuntungan” dan “tekanan atas keuntungan (profit squeeze).”
Tiap posisi di atas memiliki gagasan tentang krisis, kenapa itu terjadi dan apa implikasinya. Oleh karena itu, kita akan mengkajinya secara bergiliran.
II. Kapitalisme yang Mereproduksi Dirinya Sendiri Secara Otomatis
Di bawah, kita akan membahas tradisi laissez-faire dan Keynesian dari teori ortodoks di bagian yang terpisah.
A. Tradisi Laissez-Faire
Sialnya, kita semua sangat akrab dengan gagasan tentang kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mengatur dirinya sendiri, lancar, efisien dan harmonis. Sejak permulaannya di “Tangan Tersembunyi” Adam Smith sampai analisa keseimbangan umum modern yang elok, tapi lumpuh, konsepsi yang satu ini telah mendominasi teori borjuis. Kontradiksi dasar semua kehidupan manusia dikatakan muncul dari keinginan manusia yang tak pernah terpuaskan di hadapan ketersediaan sumber-sumber fisik yang terbatas.[1] Di sini, ketamakan kapitalisme yang tak pernah terpuaskan diubah menjadi Kodrat Manusia; dengan demikian, penjarahan gila dari planet kita hanyalah sesuatu yang bersifat “alamiah,” hasil yang tak terelakkan dari pertempuran dalam Alam itu sendiri. Kodrat Manusia bertemu dengan Sifat-Dasar Alam. Di sini, ketamakan, persaingan dan egoisme bersifat abadi: tidak ada yang bisa kita lakukan terhadapnya dan mustahil kita bisa menghapuskannya. Malah, atas dasar ini, kapitalisme disajikan sebagai seperangkat aturan sosial yang secara otomatis membolehkan ekspresi sebebas-bebasnya dari dorongan “intrinsik” manusia di atas. Tambahan lagi, karena ia melambangkan solusi institusional yang optimal bagi sebuah konflik “alamiah” yang abadi, kapitalisme akan optimal selama-lamanya. Ia tidak memiliki batas, kecuali Kodrat Manusia berubah atau Alam Fisik mengalami kehancuran, yang mana mustahil terjadi. Biarkanlah ia bekerja sendiri, dan kapitalisme akan mereproduksi dirinya dengan lancar, efisien dan mungkin selamanya. Demikianlah cerita mereka.
Karena sistem ini dianggap mengatur dirinya sendiri, maka proses pengaturannya cenderung diabaikan. Oleh sebab itu, kecenderungan yang dominan dalam pemikiran ini adalah memusatkan perhatian pada keseimbangan pertumbuhan yang statis atau seimbang. Dengan cara ini, dikesankan bahwa proses penyesuaiannya sendiri adalah hal yang sepele. Tentu saja strategi ini cukup penting, karena gagasan tentang sebuah proses penyesuaian yang panjang adalah ancaman bagi konsep keseimbangan, dan karenanya juga, bagi konsep optimalitas sistem ini, yang banyak digemari.
Meskipun demikian, krisis tetap saja terjadi. Hal ini cenderung membuat para ekonom marah dan terkadang cukup kasar. Walaupun begitu, fungsi ideologis mereka mensyaratkan mereka untuk (setidaknya sesekali) berhadapan dengan persoalan krisis.
Tanpa bisa dihindari, ekonom yang mempelajari sejarah fenomena empiris akan terkesan tidak hanya dengan banyaknya krisis yang terjadi, tetapi juga dengan kerutinan mereka yang kentara. Di AS, misalnya, Wesley Clair Mitchell menghitung lima belas “krisis” dalam 110 tahun sejak 1810-1920, sementara Paul Samuelson mencatat tujuh “resesi” dalam tiga puluh tahun sejak 1945-1975.[2] Di antara kedua periode itu, terdapat Depresi Besar yang berlangsung hampir sepuluh tahun!
Pada dasarnya, hanya ada dua cara untuk menyerap kenyataan ini ke dalam bagian utama teori ortodoks tanpa merusaknya secara permanen. Pertama dan terutama, dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya, krisis tidak perlu terjadi; bahwa pada kenyataannya krisis terjadi dapat dicarikan sebab-sebabnya pada faktor-faktor yang berada di luar fungsi normal reproduksi kapitalis. Bukan karena kesalahannya sistem ini terus diganggu oleh krisis. Dalam tradisi ini, kita menemukan bahwa yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis adalah Alam (bintik di matahari, kegagalan panen secara umum, dsb.) dan/atau Kodrat Manusia (siklus psikologis dari optimisme dan keputusasaan, perang, revolusi dan kesalahan politik yang besar).[3]
Tetapi rutinnya krisis membuat sulit untuk menyalahkan bintik di matahari atau bio-ritme konsumen, sementara penjelasan yang mengacu pada fenomena yang hanya sesekali terjadi, seperti perang dan kesalahan politik yang besar, tidak cukup untuk menjelaskan fenomena yang secara kentara terlihat sebagai sebuah siklus. Alhasil, kita dapati konsep siklus bisnis; ia mewakili cara kedua untuk menyerap fenomena krisis ke dalam teori ortodoks. Dalam konsep ini, sistem kapitalisme masih dianggap mengatur dirinya sendiri: hanya saja proses penyesuaiannya sekarang dipandang fluktuatif, tidak lagi lancar. Berbagai macam faktor yang menjadi bagian dari cara bekerjanya sistem ini memunculkan siklus yang menciptakan dirinya sendiri, sehingga reproduksi-diri kapitalisme memiliki sebuah ritme internal.
Penting untuk dicatat bahwa dalam teori ortodoks, sebuah siklus bukanlah sebuah krisis. Untuk konsisten dengan keseluruhan struktur teorinya, siklus pada dasarnya harus dilihat sebagai “fluktuasi kecil,” variasi sekunder yang pada perkiraan awal sah untuk diabaikan. Oleh karena itu, watak fluktuatif dari proses penyesuaian sistem ini tidaklah dilihat sebagai sebuah batas dari kemampuan sistem ini untuk mereproduksi dirinya.
Cabang ekonomi ortodoks yang dikenal sebagai teori siklus bisnis adalah kombinasi dari dua pendekatan dasar ini. Fluktuasi rutin yang tidak tajam adalah bagian dari sistem ini: penyusutan dan perluasan adalah bagian dari siklus bisnis yang normal. Meskipun demikian, penyusutan dan perluasan yang tajam dan berkepanjangan muncul dari faktor-faktor eksternal yang berasal dari Alam dan Kodrat Manusia, faktor-faktor yang merubah siklus menjadi krisis atau memunculkan krisis tanpa melalui siklus. Dengan demikian, krisis tetap berada di luar proses normal reproduksi kapitalis.
Terlepas dari pertolongan yang diberikannya, teori siklus bisnis selalu berperan kecil dalam ekonomi laissez-faire. Pokok bahasannya terlalu berbahaya, sejarahnya terlalu dinodai oleh sentimen anti-kapitalis untuk diintegrasikan secara nyaman dengan bagian utama teori itu. Meskipun demikian, hal itu berubah dengan datangnya ekonomi Keynesian. Kita akan segera melihat kenapa.
B. Tradisi Keynesian (Kanan)
Sejauh ini, kita telah berbicara tentang tradisi “laissez-faire” dalam teori borjuis, karena ia nyaris selalu merupakan tradisi yang dominan. Tetapi kegagalan kapitalisme secara besar-besaran dan mendunia selama Depresi Besar memberikan pukulan dahsyat terhadap tradisi ini. Kegagalannya sendiri dengan “mudah” dijelaskan oleh mereka yang setia, dengan bermacam cara yang sama dengan yang digambarkan di atas: apa yang tidak bisa dijelaskan adalah kenyataan bahwa sistem ini tidak memperlihatkan kecenderungan untuk kembali dengan cepat ke keseimbangan kesempatan kerja penuh (full employment) yang “normal.” Bahkan perhitungan resmi (konservatif) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran AS berkisar di sekitar sepuluh juta orang pada tahun 1939―sepuluh tahun setelah “Kehancuran Besar.”
Dengan berlarut-larutnya Depresi dan semakin dalamnya keresahan sosial, reputasi teori laissez-faire menjadi semakin buruk dan teori Keynesian dengan cepat menggantikannya.
Keynes menyerang gagasan ortodoks bahwa “penawaran menciptakan permintaannya sendiri,” karena adalah gagasan ini yang mengarah pada kesimpulan bahwa kapitalisme secara otomatis cenderung, sedikit banyaknya, menggunakan alat produksi dan angkatan kerja yang ada secara penuh. Sebaliknya, dalam analisanya, tingkat belanja investasi yang direncanakan oleh para kapitalis adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan tingkat output dan kesempatan kerja. Tetapi rencana investasi sangat tergantung pada harapan akan keuntungan, pada “ekspektasi” dan “semangat hewani” para kapitalis. Dua kesimpulan utama dari alur pikir di atas. Pertama, karena “ekspektasi” terkenal rentan, besar kemungkinan reproduksi kapitalis akan tidak menentu. Kedua dan yang lebih penting, tidak ada mekanisme otomatis dalam kapitalisme yang akan membuat para kapitalis merencanakan jumlah investasi yang tepat untuk memastikan adanya kesempatan kerja penuh. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa sistem ini tetap dianggap akan menyeimbangkan dirinya sendiri secara otomatis: hanya saja keseimbangan itu tidak mencegah inflasi dan pengangguran yang akan terus terjadi.
Walaupun begitu, Revolusi Keynesian bersifat ambivalen. Banyak aspek dari struktur “dalam” analisa Keynes yang sama dengan ortodoksi yang diserangnya:[4] pembagian masyarakat ke dalam produsen dan konsumen (bukan kelas), pandangan dasar yang sama tentang kodrat manusia, sangat pentingnya faktor preferensi dan “kecenderungan” psikologis, peran penawaran dan permintaan, dan di atas semua itu, kepercayaan umum terhadap analisa keseimbangan. Tidaklah heran bahwa sebagian ortodoksi bisa menyerap Keynes menjadi versi baru teori borjuis. Karena mengakui bahwa memang tidak ada mekanisme otomatis untuk membuat reproduksi kapitalis lancar, efisien dan bebas-krisis, kaum Keynesian neoklasik (atau Anak Haram Keynesian, seperti yang disebut oleh Joan Robinson) beralih ke negara sebagai mekanisme yang akan menghidupkan masyarakat seperti yang digambarkan dalam dongengan laissez-faire. Apabila negara melaksanakan pekerjaannya dengan benar, ia akan menggerakkan permintaan agregat untuk memelihara kesempatan kerja hampir penuh, tanpa atau dengan sedikit inflasi; dengan modifikasi ini, “sisa doktrin (ortodoksi) bisa dihidupkan kembali.”[5]
Karena fluktuasi ekonomi adalah bagian dari teori Keynesian yang dapat diterima, maka teori siklus bisnis menjadi cabang ilmu ekonomi yang tidak lagi berbahaya. Tentu saja, karena negara pada dasarnya bisa menghapuskan fluktuasi, maka adalah wajib untuk mempelajari siklus dan krisis secara rinci agar bisa mengetahui bagaimana cara menangkalnya. Akibatnya, banyak sekali bermunculan informasi tentang krisis sejak apa yang disebut sebagai Revolusi Keynesian.
Tidaklah aneh, kaum Keynesian cenderung melihat sejarah akumulasi kapitalis yang garang dan tidak menentu sebagai serangkaian kesalahan “kebijakan.”[6] Pandangan mereka tentang krisis sekarang ini juga bukan pengecualian.
Keynes juga menciptakan satu cabang pengikut lain, yaitu apa yang disebut sebagai Keynesian kiri, di antaranya yang terkemuka adalah Joan Robinson. Pandangannya bersama-sama dengan pandangan Michael Kalecki dan Joseph Steindl akan dibahas dalam bagian berikut ini.
III. Kapitalisme yang Tidak Mampu Memperluas Dirinya Sendiri
Sejak awal, visi laissez-faire tentang kapitalisme yang bebas-krisis dan harmonis terus diganggu oleh sebuah gagasan yang sama tua dan persistennya tentang kapitalisme yang secara hakiki tidak mampu melakukan akumulasi. Dinyatakan bahwa kekuatan internal sistem itu paling banter hanya bisa mereproduksi dirinya sampai suatu tingkat yang stagnan: tetapi karena kemandekan, kapitalisme akan segera merosot. Kompetisi memperlawankan satu dengan yang lain, tetapi karena tidak ada pertumbuhan, tidak ada yang bisa mendapatkan keuntungan kecuali dengan mengorbankan yang lain. Kapital diperlawankan dengan kapital, pekerja dengan pekerja, dan kelas dengan kelas. Hasilnya, antagonisme menjadi begitu sengit dan sistem ini meledak atau ia merosot menjadi sebuah masyarakat (seperti masyarakat Tiongkok kuno) di mana segelintir elit penguasa bersandar pada kemiskinan massal dan kesengsaraan manusia. Dalam kedua kasus itu, sebuah kapitalisme yang tidak berakumulasi tidak akan bertahan lama.
Cukup menarik, argumen yang bertentangan ini dimulai dari konsep awal yang sama dengan teori yang diserangnya. Teori ortodoks selalu bersikeras bahwa tujuan akhir dari semua produksi kapitalis adalah untuk memasok konsumsi: apa yang tidak dikonsumsi sekarang ini akan ditanamkan kembali ke dalam produksi untuk memasok konsumsi di masa depan. Apapun itu, adalah konsumsi yang menjadi pengaturnya. Dalam gelas hitam teori konsumsi-kurang, gagasan yang sama ini menjadi senjata dalam melawan kapitalisme. Dalam sejarah panjang dan kompleks dari cabang teori krisis ini, argumen berikut selalu muncul: ya, memang pengatur dasar semua produksi adalah konsumsi, baik sekarang ataupun di masa depan; meskipun demikian, produksi kapitalis bukan merespon kebutuhan, tetapi daya beli, bukan permintaan, tetapi “permintaan efektif” (yakni permintaan yang didukung oleh uang). Dan itulah watak kontradiktifnya, bahwa apabila ia dibiarkan bekerja sendiri, ia tidak akan mampu menciptakan permintaan efektif yang cukup untuk mendukung akumulasi. Dengan kata lain, mekanisme intrinsik dari sistem ini cenderung mengarahkannya ke situasi stagnan: ia memerlukan sumber permintaan efektif yang berasal dari luar―yaitu dari luar mekanisme dasarnya―untuk terus tumbuh.
A. Konsep Gap Permintaan
Dalam 150 tahun terakhir, telah banyak upaya untuk menjelaskan watak yang sesungguhnya dari persoalan konsumsi-kurang. Meskipun demikian, terlepas dari berbagai macam perumusan, yang cukup menyolok adalah betapa konstannya gagasan bahwa permintaan barang konsumsi adalah pengatur dasar dari keseluruhan produksi.
Seandainya kita membagi semua produksi sosial menjadi dua cabang utama atau “Departemen.” Departemen I memproduksi barang produksi (bahan mentah, bahan bakar, pabrik dan peralatan, dll.), sementara Departemen II memproduksi jasa dan barang konsumsi (makanan, pakaian, hiburan, dll.).
Dengan demikian, ajaran dasar teori konsumsi-kurang adalah bahwa permintaan akan jasa dan barang konsumsi menentukan tidak hanya tingkat produksi Departemen II (barang konsumsi), tetapi juga Departemen I (barang produksi). Output industri barang produksi pada akhirnya diatur oleh kebutuhan input industri barang konsumsi: permintaan akan barang produksi, dengan demikian, “diturunkan” dari permintaan akan barang konsumsi.
Perhatikan bahwa ini tidak hanya berarti output Departemen II mempengaruhi output Departemen I, dan sebaliknya. Ia memiliki makna yang lebih kuat, yaitu hubungan sebab-akibatnya terutama bersifat satu arah, bahwa Departemen II adalah pemimpinnya dan Departemen I adalah pengikutnya.
Berbarengan dengan gagasan ini adalah konsep sirkulasi sebagai sebuah proses di mana produk masyarakat dibagi habis antara pekerja dengan kapitalis. Jadi, dari total produk sosial yang ada, sebagian dianggap sebagai pengganti input yang digunakan dalam produksi, dan sisanya, yaitu produk bersih, dianggap tersedia untuk “didistribusikan” kepada pekerja dan kapitalis.
Penjelasan yang sama juga ada di sisi pendapatan. Dari hasil penjualan semua perusahaan, dinyatakan bahwa sejumlah uang dipakai untuk mengganti uang yang dikeluarkan untuk barang-barang produksi yang digunakan selama produksi. Sisanya adalah pendapatan usaha bersih perusahaan yang dibagi ke dalam upah dan keuntungan. Pendapatan bersih ini, apa yang disebut oleh para ekonom ortodoks sebagai pendapatan nasional bersih, adalah sumber permintaan efektif bagi produk bersih.
Dengan demikian, produksi bersih memiliki dua sisi. Di satu sisi, kita mendapati barang dan jasa, di sisi lain, kita dapati pendapatan uang, yang sama dengan upah tambah keuntungan: penawaran di satu sisi, dan permintaan efektif di sisi yang lain.
Sekarang kita bisa mengungkapkan persoalan dasar dari teori konsumsi-kurang. Pekerja biasanya membelanjakan semua upah mereka. Dengan demikian, mereka “membeli kembali” sebagian dari produk bersih dengan harga normalnya. Tetapi karena pekerja tidak pernah menerima keseluruhan pendapatan bersih, maka mereka tidak akan pernah bisa membeli kembali seluruh produk bersih yang ada. Konsumsi pekerja selalu meninggalkan sebuah “gap permintaan;” tambahan lagi, semakin rendah bagian upah mereka, semakin besar “gap permintaan” yang tercipta.
Di tahap analisa ini, kelebihan produk yang ada masih harus dijual, dan pendapatan kapitalis―keuntungan―masih harus dibelanjakan. Apabila keduanya bisa sepadan, maka semua produk akan terjual dan “gap permintaan” akan terisi sepenuhnya. Tetapi dalam kondisi apa hal ini akan terjadi?
Penganut awal teori konsumsi-kurang cenderung membayangkan produk bersih hanya terdiri dari barang konsumsi. Karena anggapan dasar mereka menyatakan output Departemen I diatur oleh kebutuhan input Departemen II, maka mereka mudah terjebak ke dalam pemikiran bahwa output Departemen I selalu cukup untuk mengganti input yang digunakan oleh keseluruhan sistem. Artinya, walaupun total produk sosial terdiri dari barang produksi (Departemen I) dan barang konsumsi (Departemen II), produk bersihnya (total produk dikurangi kebutuhan penggantian) hanya terdiri dari barang konsumsi.[*]
Dari sudut pandang ini, setelah pekerja membelanjakan upah mereka untuk “membeli kembali bagian mereka” dari total produk yang ada, maka kita dapati di satu sisi, produk surplus dalam bentuk barang konsumsi, dan di sisi lain, keuntungan yang belum dibelanjakan, yang menjadi “pendapatan” si kapitalis. Akibatnya, “gap permintaan” hanya akan terisi apabila para kapitalis membelanjakan semua keuntungan mereka pada konsumsi pribadi. Tetapi apabila itu yang terjadi, maka tidak akan ada investasi dan karenanya, tidak ada pertumbuhan, tidak ada akumulasi yang tercipta dari dalam.
Ini tidak berarti para kapitalis tidak akan mencoba mengakumulasi. Apa yang sebenarnya tersirat adalah bahwa upaya dari keseluruhan kelas kapitalis untuk mengakumulasi akan menghancurkan diri mereka sendiri. Lagipula, dalam persaingan yang kejam antara satu kapitalis melawan yang lain, besarnya aset si kapitalis adalah tanda penting dari kekuasaan. Dan satu cara penting untuk meningkatkan aset serta kekuasaan adalah dengan menabung, berinvestasi dan dengan demikian, tumbuh. Jadi, para kapitalis akan tetap mencoba mengakumulasi. Oleh sebab itu, bayangkan, bahwa kita mulai dari situasi awal seperti yang digambarkan di atas, di mana Departemen I memproduksi sejumlah barang produksi yang hanya cukup untuk memelihara kapasitas produktif sistem ini, dan Departemen II memproduksi sejumlah barang konsumsi yang semuanya “dibeli kembali” oleh para pekerja dan kapitalis yang mengkonsumsi semua pendapatan mereka. Sekarang, andaikata di masa berikutnya, para kapitalis membelanjakan hanya sebagian dari keuntungan mereka pada barang konsumsi; sisanya mereka investasikan dengan membeli barang produksi, merekrut pekerja, dan membangun perusahaan di Departemen I dan/atau Departemen II.
Hal aneh terjadi pada titik ini. Katakanlah total keuntungan berjumlah $200.000, yang sebelumnya dibelanjakan oleh kelas kapitalis pada konsumsi pribadi. Sekarang, seandainya mereka mengurangi konsumsi mereka menjadi $150.000 dan sisanya $50.000 diinvestasikan dengan $30.000 untuk membeli barang-barang produksi (dari persediaan di Departemen I) dan $20.000 untuk merekrut pekerja (dari pasukan cadangan tenaga kerja yang menganggur). Penurunan bersih permintaan konsumen hanya $30.000, karena penurunan permintaan konsumsi kapitalis sebagian diimbangi oleh konsumsi tambahan dari para pekerja yang baru direkrut. Meskipun demikian, permintaan barang konsumsi tetap turun, sehingga penjualan di Departemen II akan turun, yang pada gilirannya berarti permintaannya terhadap barang-barang produksi akan turun, sehingga penjualan di Departemen I akan turun. Tetapi, pada saat yang bersamaan, tindakan yang mengakibatkan semua ini telah meningkatkan kapasitas produktif secara umum. Dengan demikian, upaya mereka untuk meningkatkan kapasitas yang ada telah membuat percuma bukan hanya kapasitas ekstra yang mereka tambahkan, tetapi juga sebagian dari kapasitas yang sudah ada sebelumnya. Tanpa dapat dihindari, hal ini pasti akan menyebabkan mereka melakukan pengetatan. Akumulasi yang diciptakan dari dalam menolak dirinya sendiri.
Karena perluasan terjadi secara berangsur-angsur dan memerlukan waktu untuk selesai, kita dapat membayangkan bahwa diperlukan waktu sekian lama sebelum efek dari kurangnya “permintaan efektif” terasa, dan sekian lama lagi sebelum penyusutan yang terjadi berakhir. Akibat dari upaya akumulasi itu, dengan demikian, akan berupa peningkatan pesat (boom) yang diikuti oleh kebangkrutan (bust), dengan akumulasi bersih nol. Menurut logika teori konsumsi-kurang, inilah perilaku yang akan terjadi apabila ekonomi kapitalis dibiarkan bekerja sendiri.
Siklus peningkatan pesat dan kebangkrutan bukanlah sesuatu yang asing dalam sejarah kapitalisme. Meskipun demikian, pada saat yang sama, kajian sejarah membuatnya sangat jelas bahwa siklus ini disertai oleh pertumbuhan jangka panjang yang luar biasa dari ekonomi kapitalis―sebuah fakta yang bertentangan secara tajam dengan gagasan yang tersirat dalam logika konsumsi-kurang bahwa kapitalisme secara intrinsik stagnan. Dengan demikian, teori konsumsi-kurang tanpa kecuali harus menggunakan faktor-faktor “eksogen” (yaitu eksternal) untuk menjelaskan kontras yang tajam antara sejarah dengan teori. Di dua bagian berikut, yang secara berturut-turut membahas sejarah teori konsumsi-kurang pra-Marx dan pasca-Marx, kita akan melihat betapa pentingnya posisi elemen eksternal ini.
B. Teori Konsumsi-Kurang Konservatif dan Radikal
Di bagian sebelumnya, saya sudah berupaya mengupas logika dasar argumen konsumsi-kurang dan berbagai implikasi yang mengikutinya. Dalam melakukannya, saya menggunakan alat-alat konseptual modern, seperti dua Departemennya Marx dan analisa permintaan dan penawaran agregat dari Kalecki. Tetapi konsep-konsep ini relatif baru dan tentu saja, argumennya tidak muncul persis seperti itu dalam sejarah teori konsumsi-kurang. Pada kenyataannya, apa yang cukup menyolok dalam sejarah ini adalah bahwa sekalipun gagasan tentang “gap permintaan” selalu muncul, implikasinya yang berupa kemustahilan akumulasi kapitalis yang melestarikan dirinya sendiri, jarang dipahami. Khususnya di antara teori-teori non-Marxian, implikasi ini selalu dihindari. Ia memang merupakan posisi yang sulit untuk dianut dan ditulis di abad ke-19, pada periode di mana pertumbuhan kapitalis sangat pesat, dan teori anda mengatakan kepada anda bahwa pertumbuhan tidak intrinsik dalam produksi kapitalis.
Karena meyakini kekokohan posisi dasar mereka, tetapi tidak sadar atau tidak mau menerima implikasi penuhnya, hampir semua penganut awal teori konsumsi-kurang mengambil posisi bahwa terlalu banyak akumulasi akan menyebabkan krisis. Mereka berangkat dari asumsi bahwa ekonomi tumbuh pada suatu tingkat yang “berkelanjutan.” Dengan mengikuti logika yang telah saya uraikan di bagian sebelumnya, mereka kemudian akan berasumsi bahwa para kapitalis mengurangi konsumsi dan menginvestasikan jumlah uang yang ditabung untuk menambah barang-barang produksi dan pekerja. Jadi, sementara investasi telah memperluas kapasitas produktif, pengurangan bersih permintaan barang konsumsi dan efeknya pada permintaan barang produksi mengakibatkan pemanfaatan tak penuh dari bahkan kapasitas yang sudah ada sebelumnya. “Terlalu banyak tabungan” telah mengarah pada kemerosotan.[*]
Tetapi apa yang sebenarnya tersirat dalam logika mereka adalah bahwa tabungan seberapa pun akan mengarah pada kemerosotan, sebuah kenyataan yang tidak lama kemudian ditunjukkan oleh lawan-lawan mereka. Dalam studi cemerlangnya yang berjudul Underconsumption Theories, Michael Bleaney menyimpulkan dilema yang dihadapi oleh para penganut awal teori konsumsi-kurang:
Posisi umum para penulis ini adalah bahwa terdapat batas, di atas mana tingkat akumulasi menjadi sangat berbahaya, mengancam timbulnya kemerosotan. Tetapi setelah mereka kembangkan, logika argumen ini adalah bahwa batas itu pada kenyataannya ialah tingkat akumulasi nol, seperti yang dengan efektif ditunjukkan oleh Chalmers. Jadi mereka terperangkap dalam sebuah jebakan, di mana mereka harus mundur dari pinggir jurang dan membuang sebagian pencapaian mereka, atau mereka harus dengan terbuka menyatakan absurditas dari kesimpulan-kesimpulan mereka.[7]
Ekonom besar pertama yang terkena dilema ini adalah Thomas Malthus (1820-an). Setia dengan tradisi konsumsi-kurang, Malthus berpendapat bahwa adalah permintaan barang konsumsi yang mengatur produksi, sehingga hanya tingkat pertumbuhan tertentu yang bisa “berkelanjutan.” Tentu saja, dengan logika argumennya dan kesimpulan yang tersirat di dalamnya, Malthus tidak pernah bisa menjelaskan berapa sebenarnya tingkat pertumbuhan yang “berkelanjutan” ini. Meskipun demikian, ia memang menekankan bahwa (terlalu banyak) tabungan memiliki arti bahwa konsumsi kapitalis tidak akan menutup gap yang ditinggalkan oleh pekerja, sehingga krisis overproduksi (konsumsi-kurang) jelas mungkin terjadi dalam kapitalisme. Di tangan Malthus, kecenderungan menuju konsumsi-kurang menjadi sebuah pembelaan reaksioner terhadap tuan-tanah feodal, yang kehidupan mewah dan konsumsi-pamernya (conspicuous consumption) ditampilkan sebagai penyeimbang yang baik dari kecenderungan kapitalis untuk menabung (secara berlebihan). (Malthus juga terkenal dengan serangannya terhadap kelas pekerja melalui apa yang disebut sebagai hukum kependudukan ciptaannya. Pada masa itu, begitu pula sekarang, “hukum alam” yang brutal ini tidak pernah dimaksudkan untuk menggambarkan perilaku kelas penguasa yang “beradab.”)
Simonde de Sismondi adalah pemikir sezaman Malthus, yang juga melihat kecenderungan menuju konsumsi-kurang dalam kapitalisme. Sekali lagi, kita menemukan di sini argumen bahwa tingkat konsumsi mengatur keseluruhan produksi, sehingga produksi hanya bisa tumbuh secepat pertumbuhan konsumsi. Tetapi kapitalisme membatasi konsumsi massa dengan membuat mereka tetap miskin; para pekerja terlalu miskin untuk membeli kembali hasil kerja mereka (lagi-lagi di sini, gap permintaan yang ada di mana-mana). Lebih jauh lagi, dengan berkembangnya kapitalisme, distribusi pendapatan menjadi semakin tidak merata, sehingga konsumsi massa tumbuh lebih lambat daripada seluruh kekayaan yang ada (gap yang ada semakin lebar). Dengan demikian, menurut Sismondi, kecenderungan konsumsi-kurang tidak hanya ada, tetapi juga semakin buruk dengan matangnya kapitalisme. Sejalan dengan waktu, krisis akan semakin buruk, dan kompetisi antar bangsa untuk pasar eksternal semakin tajam.
Berbeda dengan Parson Malthus yang reaksioner, Sismondi adalah seorang radikal yang sangat terkesan dengan penderitaan petani dan pekerja di bawah kapitalisme. Di zamannya, ia adalah tokoh dari apa yang disebut oleh Marx sebagai sosialisme borjuis-kecil, yang berjuang melawan kekejaman dan kehancuran yang ditimbulkan oleh kapitalisme, dan berusaha mereformasinya untuk memperbaiki kondisi ini. Sismondi sendiri memperjuangkan perubahan radikal dalam distribusi pendapatan untuk petani dan pekerja, serta melihat kepada negara untuk melaksanakan hal ini dan reformasi ekonomi lainnya.[8]
Baik mazhab konsumsi-kurang Malthusian dan Sismondian menyebut pasar eksternal sebagai sumber permintaan konsumsi. Dalam Malthus, hal ini hanya disinggung sepintas lalu; tetapi dalam Sismondi, pasar luar negeri adalah saluran yang penting bagi overproduksi di dalam negeri, dan ia melihat peningkatan persaingan internasional sebagai sesuatu yang diakibatkan oleh memburuknya persoalan konsumsi-kurang. Tentu saja, agar perdagangan internasional menjadi solusi dari masalah ini, suatu bangsa harus lebih banyak mengekspor ke bangsa-bangsa lain daripada mengimpor dari mereka. Hal ini jelas mustahil diterapkan di seluruh dunia. Apabila semua perdagangan terjadi hanya di dunia kapitalis, maka perdagangan internasional berada di dalam sistem kapitalis dunia dan tidak menawarkan jalan keluar apapun dari persoalan konsumsi-kurang. Oleh karena itu, Sismondi tidak menampilkan perdagangan luar negeri sebagai solusi umum dari persoalan ini.
Di antara zaman Sismondi (1850-an) dan J.A. Hobson (1900-an), muncullah saat yang menentukan dalam sejarah kapitalis, yang menandakan permulaan Zaman Imperialisme. Sebagai contoh, antara tahun 1870-an dan 1914, investasi luar negeri Eropa naik 700%, sebagian besarnya menuju ke apa yang disebut sebagai Dunia Ketiga. Dengan demikian, tidaklah mengejutkan bahwa di tahun 1900-an, perdagangan luar negeri, melalui imperialisme, mulai terlihat sebagai solusi dari persoalan konsumsi-kurang. Bagaimanapun juga, apabila seseorang memandang dunia terbagi ke dalam bangsa-bangsa imperialis-kapitalis dan Dunia Ketiga yang terbelakang, maka ia juga bisa membayangkan Dunia Ketiga ini menyerap kelebihan tabungan negara kapitalis maju―baik secara langsung dalam bentuk investasi luar negeri ataupun secara tidak langsung dalam bentuk ekspor komoditi. Baik dalam pemikiran Hobson maupun Rosa Luxemburg (yang akan saya bahas di bagian berikutnya), hubungan antara konsumsi-kurang dengan imperialisme menjadi sangat penting.
Hobson memulai dengan cara penganut teori konsumsi-kurang yang sekarang sudah lazim. Ia secara eksplisit mengidentifikasi obyek pokok dari semua produksi, bahkan di bawah kapitalisme, yang mana adalah produksi barang konsumsi. Selain itu, dialah orang pertama yang secara eksplisit memperlakukan Departemen I (industri barang produksi) benar-benar di bawah Departemen II (barang konsumsi), sehingga semua proses produksi bisa diperlakukan sebagai sebuah sistem yang terintegrasi secara vertikal, dimulai dari bahan mentah dan berlanjut secara bertahap sampai produk akhir yang hanya terdiri dari barang konsumsi. Terakhir, ia juga memulai dengan mendalilkan suatu tingkat pertumbuhan yang “berkelanjutan” (yang tentu saja tidak dapat ia definisikan) dan kemudian menunjukkan bahwa (terlalu banyak) tabungan akan mengarah kepada kemerosotan. Krisis muncul dari tabungan (yang berlebih).[9]
Hobson juga memperkenalkan konsep “surplus” yang memainkan peran penting dalam analisa dia selanjutnya. Secara umum, “surplus” didefinisikan oleh Hobson sebagai kelebihan nilai uang total dari output yang berada di atas ongkos yang benar-benar diperlukan untuk memproduksi output itu.[10] Konsep ini melibatkan pembedaan antara ongkos produksi pokok dengan tambahan, dan juga antara ongkos memproduksi dengan pengeluaran lain (seperti biaya penjualan, pajak penjualan, dsb.). Ia adalah sebuah konsep yang lebih luas daripada yang saya definisikan sebelumnya sebagai keuntungan (penjualan dikurangi semua ongkos), tetapi kita tidak perlu membahas perbedaan-perbedaan itu di sini.
Terlepas dari itu, gagasan Hobson tentang surplus mencakup “ongkos” tambahan, seperti keuntungan monopoli dan sewa tanah (karena keduanya tidak muncul dari produksi yang manapun). Dengan berkembangnya kapitalisme, “pendapatan yang tidak diusahakan” ini membesar, dan karena penerimanya cenderung mengkonsumsi hanya sedikit, tabungan yang berlebih cenderung untuk terjadi. Dengan demikian, ada persoalan konsumsi-kurang yang semakin parah.[11]
Menurut Hobson, perdagangan luar negeri menyediakan saluran bagi kelebihan tabungan dan sebuah pasar untuk kelebihan produksi, bahkan di bawah kapitalisme yang kompetitif. Meskipun demikian, dengan semakin terkonsentrasinya industri dan menyebarnya monopoli, persoalan konsumsi-kurang bergerak ke tingkat yang secara kualitatif lebih tinggi. Di satu sisi, keuntungan monopoli memperbesar surplus, sehingga tabungan menjadi lebih besar; di sisi lain, karena monopoli memperoleh keuntungan yang sangat besar ini dengan menaikkan harga, mereka cenderung memperkecil pasar. Jadi, faktor serupa yang meningkatkan tabungan, mengurangi saluran keluar untuk tabungan tersebut. Imperialisme muncul sebagai solusinya: imperialisme adalah tahap tertinggi dari konsumsi-kurang.
Meskipun demikian, hal itu tidak perlu terjadi, kata Hobson. Akar penyebab krisis dan imperialisme adalah ketidaksetaraan pendapatan dan pendapatan berlebih dari para pelaku monopoli serta rente, dan solusinya adalah reformasi yang tepat:
Biarkan setiap perubahan haluan dari kekuatan ekonomi-politik memisahkan para pemilik ini dari kelebihan pendapatan mereka dan buatlah pendapatan itu mengalir, baik kepada para pekerja dalam bentuk upah yang lebih tinggi, atau kepada masyarakat dalam bentuk pajak, sehingga kelebihan itu dikeluarkan dan bukan ditabung, dan dengan salah satu cara di atas, memperbesar gelombang konsumsi―kita tidak perlu berebut pasar luar negeri atau wilayah investasi di luar negeri.[12]
Banyak dalil yang dimajukan Hobson di tahun 1900-an muncul kembali dalam analisa Marxis yang kemudian. Menulis di tahun 1916, Lenin menekankan hubungan antara monopoli dengan imperialisme, walaupun ia menolak analisa konsumsi-kurang Hobson. Di sisi lain, pada tahun 1920-an, si revolusioner dari Jerman, Rosa Luxemburg, berpendapat bahwa pada kenyataannya akar imperialisme terletak pada persoalan konsumsi-kurang, meskipun tentu saja ia menolak kesimpulan-kesimpulan yang diambil oleh Hobson dari analisa seperti ini. Terakhir, di Amerika Serikat, karya berpengaruh dari dua orang Marxis, Paul Sweezey dan Paul Baran, menghidupkan kembali gagasan-gagasan Hobsonian, seperti pandangan yang melihat keseluruhan produksi sebagai sebuah sektor yang terintegrasi secara vertikal, konsep “surplus,” gagasan bahwa monopoli cenderung meningkatkan surplus, dan di atas semua itu, argumen yang menyatakan bahwa penyerapan surplus adalah sebuah persoalan intrinsik dari produksi kapitalis, yang akan semakin parah dengan semakin lazimnya monopoli. Di bagian berikut, kita akan membahas teori-teori ini.
C. Teori Konsumsi-Kurang dan Ketidaksebandingan Marxian
Dalam teori-teori awal konsumsi-kurang, permasalahannya selalu dirumuskan sebagai tingkat akumulasi yang terlalu besar. Meskipun demikian, kita sudah melihat bahwa sesuai dengan logika mereka, akumulasi sebesar apapun cenderung menolak dirinya sendiri. Tanpa dapat dihindari, para penganut teori konsumsi-kurang tergiring kepada kesimpulan bahwa kapitalisme cenderung mengarah kepada stagnasi, bahwa kapitalisme yang memperluas dirinya sendiri adalah mustahil.
Marx telah mematahkan argumen ini. Untuk melihat kenapa, kita perlu membahas beberapa kemajuan konseptual yang dibuat oleh Marx.
Kita sudah mengenal kemajuan besar yang pertama, yaitu mengkonseptualisasi keseluruhan produksi menjadi dua cabang utama atau Departemen, yakni barang produksi (I) dan barang konsumsi (II). Ini berarti bahwa total produk yang ada selalu terdiri dari kedua jenis barang.
Terobosan kedua oleh Marx adalah mengklarifikasi watak dari permintaan efektif. Kita sudah melihat bahwa para penganut teori konsumsi-kurang pada dasarnya mengidentifikasi tiga jenis permintaan efektif: permintaan pengganti, yang membeli kembali barang-barang produksi untuk mengganti yang sudah terpakai, permintaan konsumsi pekerja yang membeli kembali “bagian” mereka dari total produk yang ada, dan permintaan konsumsi kapitalis serta investasi bersih yang harus menutup “gap permintaan” dalam output bersih.
Titik berangkat Marx yang pertama adalah masalah waktu. Andaikan proses produksi di tiap Departemen berlangsung dalam suatu waktu tertentu, katakanlah satu tahun. Maka barang-barang produksi yang digunakan dalam keseluruhan proses tidak mungkin dibeli dari produksi tahun ini, karena barang produksi yang pertama kali selesai dan berasal dari produksi yang dimulai tahun ini belum akan rampung sampai akhir tahun. Begitu pula, para buruh yang bekerja selama tahun ini tidak dapat “membeli kembali” barang-barang konsumsi yang merupakan hasil kerja mereka sekarang, karena barang-barang ini belum akan selesai sampai akhir tahun; para kapitalis juga tidak bisa mengkonsumsi apa yang belum ada sekarang ini.
Mari kembali ke awal tahun ini. Untuk membuat contoh ini sesederhana mungkin, kita asumsikan semua barang yang akan digunakan pada tahun ini dibeli pada awal tahun (ini hanya contoh untuk menjelaskan saja). Para kapitalis memutuskan tingkat produksi yang mereka inginkan untuk tahun ini. Mereka kemudian membeli sejumlah barang produksi dan menggaji sejumlah pekerja; para pekerja kemudian menggunakan upah mereka untuk membeli barang-barang konsumsi. Pada saat yang sama, para kapitalis juga harus membeli sejumlah barang konsumen untuk konsumsi pribadi mereka di tahun ini. Perhatikan bahwa permintaan efektif semuanya berasal dari kelas kapitalis: upah buruh adalah bagian dari pengeluaran investasi kotor (bruto) tahun ini oleh para kapitalis. Adalah tidak tepat memperlakukan konsumsi dan investasi sebagai sesuatu yang secara fungsional terpisah, karena sebagian besar konsumsi berasal dari upah, yang merupakan aspek penting dari pengeluaran investasi.
Dengan demikian, pada awal tahun, adalah kelas kapitalis, melalui pengeluaran investasi dan konsumsi mereka, yang menentukan permintaan efektif. Tetapi siapa yang menjual komoditi? Tentu saja kelas kapitalis! Awal tahun ini juga merupakan akhir dari tahun lalu; dengan demikian, ia juga merupakan saat di mana produk jadi dari produksi tahun lalu menjadi tersedia. Produksi tahun lalu memberikan kelas kapitalis penawaran-komoditi untuk dijual pada tahun ini; pengeluaran kelas kapitalis tahun ini pada konsumsi pribadi dan investasi kotor menentukan permintaan efektif untuk penawaran komoditi. Apabila ini terdengar ganjil, maka harus diingat bahwa reproduksi kapitalis memang ganjil. Keputusan produksi dan konsumsi diambil oleh ratusan ribu individu kapitalis tanpa ada pikiran apapun untuk reproduksi sistem secara keseluruhan. Meskipun adalah kelas kapitalis yang menentukan kedua hasil akhir dari hubungan penawaran-permintaan, para kapitalis tidak menjalankannya sebagai sebuah kelas tetapi lebih sebagai individu-individu. Yang sulit adalah menjelaskan kenapa mereka bisa “menjalankannya dengan benar.” Kita akan segera kembali lagi ke pokok bahasan ini.
Berangkat dari sini, tidaklah sulit untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan yang stabil sangat dimungkinkan, dengan permintaan efektif tiap tahun cukup untuk membeli penawaran yang ada pada harga “normal.”[13] Apabila investasi tumbuh 10%, maka output tumbuh 10%. Jikalau dengan begitu, konsumsi kapitalis juga tumbuh 10%, maka output tiap tahun akan ditunggu oleh permintaan efektif yang akan membelinya. Setelah Marx, kemungkinan “pertumbuhan yang seimbang” menjadi lumrah.
Pertumbuhan yang seimbang menyiratkan bahwa kapasitas produktif dan permintaan efektif bisa tumbuh pada tingkat yang kira-kira sama. Meskipun begitu, ini tidak berarti bahwa kapitalisme pernah mencapai sesuatu yang seperti itu. Ia juga tidak memberitahu kita bagaimana proses sebab-akibatnya berlangsung apabila pertumbuhan yang seperti itu rata-rata memang mungkin. Walaupun demikian, kenyataan bahwa reproduksi yang meluas itu mungkin, menjadi ancaman nyata bagi teori konsumsi-kurang. Adalah dengan mempertimbangkan tantangan ini, kita membahas teori konsumsi-kurang versi Marxis.
Ada baiknya kita membahas sedikit latar belakang tulisan Marx. Selama tahun 1858-1865, Marx menulis dan menulis ulang sebagian besar naskah yang menjadi dasar dari tiga jilid karya besarnya, yaitu Capital. Jilid I diterbitkan pada tahun 1867, tetapi Jilid II―di mana analisa terhadap reproduksi kapitalis muncul―tidak pernah benar-benar selesai, meskipun ia direvisi pada awal tahun 1870-an dan direvisi lagi pada akhir tahun 1870-an. Umur Marx tidak cukup untuk menyelesaikan tugas ini dan kedua jilid terakhir dikumpulkan serta diterbitkan oleh Engels. Dengan demikian, selama Marx hidup, bagian yang terbit dari karya Marx tidak membahas reproduksi dan pertumbuhan.[14]
Dalam Jilid I, Marx menunjukkan bahwa produk berlebih hanya mungkin terjadi apabila dalam satu hari, semua buruh bekerja dengan jam kerja yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang yang mereka konsumsi dan barang-barang yang diperlukan untuk mengganti yang digunakan dalam proses produksi. Adalah kelebihan jam kerja di atas yang diperlukan mereka untuk memelihara diri mereka dan sistem produktif ini, yang menghasilkan kelebihan produk yang diambil oleh kelas kapitalis.
Pada zaman Tsar di Rusia, teori ini disambut dengan baik. Kapitalisme sudah mulai menghancurkan formasi sosial yang ada, khususnya komune petani kuno yang disebut mir. Pada tahun 1850-an, telah dinyatakan oleh beberapa orang populis bahwa mir bisa menjadi basis bagi transisi langsung menuju sosialisme tanpa harus melalui kebengisan industrialisasi kapitalis. Pada tahun 1880, Jilid I Capital telah menyediakan kaum populis Marxis tidak hanya dengan kritik terhadap kapitalisme secara umum, tetapi juga―dengan sedikit ekstrapolasi―sebuah senjata teoretis yang penting terhadap kapitalisme di Rusia.[15]
Kaum populis Marxis melihat penekanan Marx pada kelebihan jam kerja sebagai bukti kemustahilan kapitalisme di Rusia. Dengan cara klasik dari teori konsumsi-kurang, mereka menyatakan bahwa karena pekerja memproduksi lebih banyak daripada yang mereka konsumsi, maka pasar dalam negeri tidak akan pernah cukup untuk pertumbuhan. Bangsa-bangsa kapitalis maju di Barat keluar dari dilema ini dengan menemukan pasar luar negeri; tetapi Rusia, kata mereka, terlalu terbelakang untuk bersaing secara efektif di pasar dunia. Dengan demikian, kapitalisme tidak akan bisa hidup di Rusia. Mengorganisir petani adalah kunci menuju sosialisme.
Jilid II Capital diterbitkan pada tahun 1885, dua tahun setelah kematian Marx. Walaupun begitu, lima belas tahun kemudian kaum populis Marxis masih bersikeras bahwa “adalah mustahil bagi sebuah negara kapitalis untuk hidup tanpa adanya pasar luar negeri.”[16] Tetapi sekarang, sebuah argumen tandingan telah berkembang dalam Marxisme Rusia; dan ia melibatkan nama-nama besar di dalamnya: Bulgakov, Tugan-Baranowsky, Struve, Lenin.
Kelompok Marxis yang terakhir melontarkan dua kritik utama terhadap argumen konsumsi-kurang kaum populis. Pertama, mereka mencatat bahwa adalah sebuah kenyataan kalau di Rusia hubungan komoditi dan kapitalis tumbuh dengan cepat di mana-mana. Buku pertama Lenin, The Development of Capitalism in Russia (1899) ditujukan hanya untuk menyatakan pokok pikiran itu. Kedua, Lenin dan yang lain menyerang logika dasar argumen populis. Menurut mereka, kesalahan mendasarnya terletak pada gagasan bahwa bahkan di bawah kapitalisme, konsumsi adalah tujuan dari produksi. Kapitalisme memproduksi demi keuntungan, bukan konsumsi, dan analisa Marx tentang reproduksi yang diperluas menunjukkan dengan kuat bahwa produksi yang didorong oleh keuntungan ini benar-benar mampu menciptakan pasar internalnya sendiri. Konsumsi-kurang bukanlah sebuah masalah intrinsik. Kapitalisme sudah ada di sana, ia bisa hidup dan menyebar, dan mengorganisir proletariat perkotaan adalah sebuah tugas yang mendesak.
Babak perdebatan ini pada akhirnya dimenangkan oleh Struve, Bulgakov, Tugan-Baranowsky dan Lenin. Tetapi kemenangan mereka hanya memunculkan serangkaian pertanyaan lain yang lebih penting: apabila kapitalisme memang bisa tumbuh sendiri, apa yang akan menghalanginya dari tumbuh selamanya? Dengan kata lain, apa batas-batasnya? Selain itu, bagaimana kita memahami krisis dahysat yang secara berkala terjadi dalam kapitalisme?
Jawaban Tugan-Baranowsky adalah dengan mengambil posisi ekstrim bahwa kapitalisme sepenuhnya mandiri dari konsumsi, jikalau pertumbuhan Departemen I dan II sebanding antara satu dengan yang lain. Tetapi ia menyatakan, karena produksi kapitalis bersifat anarkis, maka kesebandingan itu tergantung pada kemujuran. Dengan demikian, watak mencoba-coba dari produksi kapitalis akan memunculkan ketidakseimbangan yang besar seperti itu secara berkala, sehingga reproduksi akan tergganggu dan muncullah krisis. Lenin menolak pernyataan Tugan-Baranowsky bahwa konsumsi tidak relevan, tetapi pada saat itu, selain menekankan sifat anarkis dari produksi kapitalis, ia tidak membuat sebuah teori krisis yang jelas. Ia tidak kembali lagi kepada pokok bahasan krisis. Di Jerman, sepuluh tahun kemudian, teori ketidaksebandingan (disproportionality) tentang krisis muncul kembali, kali ini dalam karya masif Rudolph Hiferding tentang kapitalisme monopoli. Baik Tugan-Baranowsky maupun Hilferding kemudian menyatakan bahwa karena adalah sifat anarkis dari kapitalisme yang menyebabkan krisis, maka perencanaan akan menghapuskan krisis. “Kapitalisme yang terorganisir,” dalam kata-kata Hilferding, adalah solusinya dan jalan parlementer untuk menguasai negara adalah caranya.[17]
Rosa Luxemburg menolak kesimpulan perdebatan ini. Sebagai seorang aktivis revolusioner, ia sepenuhnya menentang reformisme yang tampaknya dimunculkan oleh teori ketidaksebandingan. Ketika seseorang mengakui “bahwa perkembangan kapitalisme tidak mengarah kepada kehancurannya sendiri,” katanya, “maka sosialisme tidak lagi menjadi suatu keharusan yang obyektif.” Meninggalkan teori keruntuhan kapitalisme adalah sama dengan meninggalkan sosialisme ilmiah. Dan karena itu, ia mulai menghidupkan kembali perdebatan Marxis tentang konsumsi-kurang.[18]
Karena adalah contoh Marx tentang reproduksi yang meluas (pertumbuhan yang seimbang) yang menjadi faktor penentu dalam perdebatan awal di antara kaum Marxis Rusia, maka Luxemburg langsung menyerang contoh tersebut. Ia menyatakan, Marx hanya menunjukkan kemungkinan abstrak dari reproduksi yang diperluas, tetapi Marx tampaknya tidak menyadari bahwa walau bagaimanapun, hal itu mustahil terjadi di kenyataan, karena dari sudut pandang sosial, perilaku kapitalis yang dibutuhkan oleh reproduksi itu tidak mungkin terjadi.[19] Bayangkan bahwa pada akhir sebuah siklus produksi, seluruh produk sosial disimpan di sebuah gudang. Pada titik ini, para kapitalis datang dan mengambil sebagian dari total produk untuk mengganti barang-barang produksi mereka yang digunakan dalam siklus terakhir, dan pekerja datang untuk mengambil alat-alat konsumsi mereka. Ini menyisakan produk surplus, yang darinya para kapitalis mengambil sebagian untuk konsumsi pribadi mereka. Sekarang Luxemburg bertanya, dari mana datangnya pembeli untuk sisa produk yang ada? (Ini tentu saja merupakan persoalan tradisional teori konsumsi kurang untuk menutup “gap permintaan”). Apabila Marx benar, katanya, maka adalah kelas kapitalis yang akan membeli kembali sisa produk yang ada untuk diinvestasikan, dan dengan demikian, meningkatkan kapasitas produktif yang ada. Tetapi itu sama sekali tidak masuk akal, karena “siapa konsumen baru, yang untuknya produksi terus diperbesar?” Bahkan apabila para kapitalis melakukan apa yang Marx katakan, pada periode berikutnya, kapasitas produksi akan menjadi lebih besar, gap yang harus ditutup menjadi lebih besar, dan persoalannya menjadi lebih sulit diatasi. “Diagram akumulasi” Marx “tidak menjawab pertanyaan tentang siapa yang pada akhirnya akan mendapat manfaat dari produksi yang semakin besar…” Reproduksi yang diperluas secara matematis mungkin, tetapi secara sosial mustahil.[20]
Oleh karena itu, akumulasi kapital yang aktual hanya bisa dijelaskan dengan suatu kekuatan yang berada di luar hubungan kapitalis yang “murni.” Luxemburg mencatat bahwa solusi Malthussian berupa konsumen kelas ketiga yang tidak produktif tidak masuk akal, karena pendapatan mereka hanya bisa datang dari keuntungan atau upah. Begitu pula, perdagangan luar negeri antar bangsa-bangsa kapitalis tidak menjadi solusi bagi kapitalisme secara keseluruhan, karena hal itu terjadi dalam sistem dunia ini. Dengan demikian, ia menyatakan bahwa akumulasi kapitalis memerlukan strata pembeli di luar masyarakat kapitalis, yang terus membeli lebih banyak daripada yang dijualnya kepada sistem ini. Jadi, perdagangan antara dunia kapitalis dan non-kapitalis adalah kebutuhan utama dari keberadaan historis kapitalisme, dan imperialisme tentu akan muncul ketika bangsa-bangsa kapitalis berebut kontrol atas semua sumber penting permintaan efektif ini. Lebih jauh lagi, dengan meluasnya kapitalisme ke seluruh dunia, maka dunia non-kapitalis akan menyusut, dan karenanya, menyusut pula sumber akumulasi yang utama. Kecenderungan untuk krisis semakin tinggi, dan persaingan antar bangsa-bangsa kapitalis untuk memperebutkan daerah-daerah non-kapitalis yang masih ada akan semakin tajam. Krisis dunia, perang dan revolusi adalah hasil yang tak terelakkan dari proses ini.
Bahkan apabila Luxemburg benar mengenai kemustahilan akumulasi, pemecahannya tidaklah tepat, karena ia memerlukan “Dunia Ketiga” untuk terus membeli lebih banyak daripada yang mereka jual. Darimana kelebihan pendapatan itu datang?
Tetapi pada kenyataannya, ia juga keliru mengenai kemungkinan akumulasi. Untuk melihat hal ini, kita perlu kembali sebentar kepada analisa yang disajikan di awal bagian ini. Ingat bahwa pada akhir siklus produksi, adalah para kapitalis yang memiliki seluruh produk sosial yang ada. Pada saat yang sama, adalah pengeluaran konsumsi pribadi dan investasi kotor mereka yang menjadi sumber asli dari permintaan efektif terhadap produk ini (karena upah pekerja adalah bagian dari keseluruhan investasi). Sekarang, di luar konsumsi pribadi mereka, sisa pengeluaran mereka (investasi kotor) tidaklah dimotivasi oleh konsumsi. Ia sepenuhnya dimotivasi oleh harapan akan keuntungan. Apa yang ditunjukkan oleh contoh Marx adalah bahwa jikalau para kapitalis benar-benar berinvestasi dalam jumlah yang tepat, mereka tentu akan mampu menjual produk mereka dan menghasilkan keuntungan yang diharapkan. Apabila keberhasilan ini merangsang mereka untuk berinvestasi lagi demi mendapatkan keuntungan, maka mereka akan mendapatkannya lagi, dan begitu seterusnya. Sementara konsumsi akan meningkat karena pertumbuhan jumlah orang yang bekerja dan pertumbuhan kekayaan para kapitalis. Tetapi peningkatan konsumsi ini adalah sebuah akibat, bukan sebab.[*]
Tetapi apabila ini membantah kritik Luxemburg terhadap reproduksi yang diperluas, ia tetap tidak menjawab dua pertanyaan krusial yang menjadi titik berangkat Luxemburg. Pertama, kekuatan apa, jikalau ada, yang membuat reproduksi yang diperluas menjadi mungkin di kenyataan? Dan kedua, bukankah benar bahwa apabila reproduksi yang diperluas itu sebenarnya mungkin, maka “perkembangan kapitalisme tidak mengarah kepada kehancurannya sendiri?”
Apa yang diperdebatkan oleh teori, diputuskan oleh realitas. Pada tahun 1929 terjadi krisis kapitalis yang dahsyat dan mendunia, yang diikuti oleh depresi mendalam dan pengangguran selama sepuluh tahun. Dengan latar belakang ini, persoalan reproduksi kapitalis muncul kembali dengan cepat ke permukaan.
Upaya serius pertama untuk menghidupkan kembali teori konsumsi-kurang sebagai penjelasan krisis dilakukan oleh Paul Sweezy dalam bukunya yang berpengaruh, The Theory of Capitalist Development (1942). Sweezy secara eksplisit mencoba merumuskan teori konsumsi-kurang yang “bebas dari keberatan-keberatan yang diajukan terhadap versi sebelumnya.”[21]
Di tahap awal upayanya ini, Sweezy masih sangat terpengaruh oleh gagasan konsumsi-kurang yang tradisional bahwa permintaan untuk barang konsumsi mengatur keseluruhan produksi. Dari sudut pandang ini, Departemen I tampak sebagai bagian dari aparat produktif Departemen II yang terintegrasi secara vertikal, sehingga perubahan output Departemen I (barang produksi) pada kenyataannya adalah perubahan kapasitas untuk memproduksi barang konsumsi. Tambahan lagi, menurut Sweezy, “bukti empiris” memperlihatkan bahwa perubahan 1% pada output Departemen I akan menambah kapasitas output barang konsumsi sebesar 1%. Ini benar-benar mengulang kembali pemikiran Hobson, yang telah kita analisa sebelumnya.
Sekarang pertimbangkanlah permintaan efektif, yang seperti telah kita lihat, terdiri dari pengeluaran konsumsi kapitalis dan investasi total (yang terakhir ini, pada gilirannya, terdiri dari pengeluaran untuk barang-barang produksi dan upah pekerja). Sweezy mencatat bahwa dengan berkembangnya kapitalisme, mekanisasi berjalan dengan cepat dan diperlukan lebih banyak mesin dan bahan mentah untuk satu pekerja; ini berarti pengeluaran investasi kapitalis pada barang produksi meningkat lebih cepat daripada yang ditanam pada upah. Karena analisa produksinya seperti itu, maka pengeluaran investasi pada barang produksi menyiratkan kenaikan sebanding pada kapasitas barang konsumsi, sementara pengeluaran untuk upah yang peningkatannya lebih lambat tentu mewujud pada konsumsi pekerja. Dengan demikian, tampak bahwa kapasitas untuk memproduksi barang konsumsi meningkat lebih cepat daripada permintaan konsumsi pekerja. Karenanya, tercipta sebuah “gap permintaan.” Tentu saja permintaan konsumsi kapitalis bisa menutup gap tersebut. Tetapi dengan berkembangnya kapitalisme, para kapitalis cenderung menggunakan keuntungannya untuk berinvestasi lebih banyak, dan mengkonsumsi lebih sedikit, sehingga konsumsi mereka akan tertinggal di belakang kapasitas produktif Departemen II. Sweezy menyimpulkan:
“…akibatnya terdapat kecenderungan inheren dari pertumbuhan konsumsi untuk tertinggal di belakang pertumbuhan output barang konsumsi…kecenderungan ini bisa mengungkapkan dirinya dalam krisis atau stagnasi, atau keduanya.”[22]
Kesalahan mendasar analisa Sweezy adalah sama dengan kesalahan teori konsumsi-kurang tradisional, yaitu mereduksi peran Departemen I hanya menjadi “input” dari Departemen II. Ketika asumsi ini digunakan, maka peningkatan produksi barang produksi pasti meningkatkan kapasitas barang konsumsi. Tetapi ini keliru: barang produksi juga dapat digunakan untuk membuat barang produksi, dan seperti yang kita catat dalam kritik terhadap Luxemburg, reproduksi yang diperluas memerlukan penggunaan barang produksi yang seperti itu. Berbeda dengan penalaran Sweezy, adalah sangat mungkin untuk mendapati adanya peningkatan rasio mesin dan bahan mentah per pekerja serta pertumbuhan yang sebanding pada output kedua Departemen, bersamaan dengan terjadinya reproduksi yang diperluas.
Upaya Sweezy yang kedua dan dilakukan bersama Paul Baran, muncul dua puluh tahun kemudian dalam Monopoly Capital. Seperti yang telah kita lihat, dalam upaya yang pertama, Sweezy menyatakan bahwa kapitalisme memiliki kecenderungan intrinsik untuk meningkatkan kapasitas produksi Departemen II lebih cepat daripada permintaan konsumsi. Monopoly Capital, yang ditulis dengan mempertimbangkan Marx, Keynes dan Kalecki, tidak lagi membatasi dirinya hanya pada Departemen II atau permintaan konsumen. Malah dinyatakan di sini bahwa kapitalisme modern memiliki kecenderungan untuk meningkatkan kapasitas produktif total lebih cepat daripada permintaan efektif yang tercipta dari dalam―sehingga tanpa adanya faktor-faktor eksternal, “kapitalisme monopoli akan semakin tenggelam dalam depresi kronis.”[23]
Konsekuensi dari diagnosis ini adalah bahwa “periode yang cukup panjang di mana proses akumulasi (yang aktual) berjalan dengan hebat, dengan…permintaan terhadap tenaga kerja meningkat pesat dan kapasitas produktif digunakan hampir atau pada kapasitas penuhnya” harus dijelaskan dengan faktor-faktor eksternal.[24] Jadi Baran dan Sweezy menunjuk pada inovasi-inovasi besar (mesin uap, rel kereta api, mobil), ekspansi imperialis serta perang, dan rangsangan terhadap permintaan secara umum melalui iklan, kebijakan pemerintah, dsb., sebagai faktor-faktor krusial yang mengatasi watak stagnan yang inheren dalam kapitalisme monopoli.
Menghubungkan monopoli dengan pertumbuhan yang lambat dan kapasitas berlebih bukanlah hal yang baru. Banyak teori (seperti yang akan kita lihat) berupaya menjelaskan korelasi ini. Sumbangan spesifik Baran dan Sweezy adalah argumen mereka bahwa fenomena ini muncul dari kecenderungan kapitalisme monopoli untuk memperluas kapasitas produktif secara berlebihan, sehingga mendorong diri mereka sendiri ke dalam krisis dan/atau stagnasi. Oleh karena itu, kita perlu mempelajari logika dasar argumen ini.
Kita bisa ingat bahwa dalam analisa Marx, adalah pengeluaran konsumsi kapitalis dan total investasi yang menentukan permintaan efektif (total investasi mencakup pengeluaran untuk upah, yang pada gilirannya menentukan konsumsi pekerja). Tambahan lagi, sepanjang konsumsi pribadi kelas kapitalis bereaksi secara kurang lebih pasif terhadap keuntungan sekarang dan masa lalu, maka adalah total investasi yang menjadi variabel krusialnya.
Sekarang andaikan bahwa pada awal tahun, pengeluaran investasi total untuk produksi tahun depan cukup besar untuk meningkatkan kapasitas produksi, tetapi tidak cukup besar untuk membeli semua produk sosial yang ada. Maka di satu sisi, para kapitalis akan memulai peningkatan kapasitas produksi masa depannya, meskipun di sisi lain, mereka akan menemukan permintaan yang tidak cukup bahkan untuk kapasitas mereka yang sekarang.
Karena watak anarkis reproduksi kapitalis, kejadian seperti di atas bisa sering terjadi. Pertanyaannya adalah apakah ia hanya satu aspek saja dari fluktuasi yang terjadi secara berkala dalam reproduksi kapitalis atau apakah ia lebih dari itu? Marx, misalnya, menyatakan bahwa para kapitalis didorong untuk mengakumulasi secepat mungkin, sehingga gap seperti di atas cenderung diperbaiki oleh dirinya sendiri. Tetapi apabila seseorang dengan suatu cara bisa menyatakan bahwa di tiap periode, investasi cenderung berada di jumlah seperti yang digambarkan di atas―cukup besar untuk meningkatkan kapasitas, tetapi tidak cukup besar untuk membeli penawaran periode sebelumnya―maka tentu saja kapasitas produktif akan mendahului permintaan efektif dan sistem ini akan berhadapan dengan gap permintaan atau “masalah realisasi.” Inilah persisnya argumen yang tersirat dalam pernyataan Baran dan Sweezy bahwa surplus (yang potensial) meningkat lebih cepat daripada kemampuan sistem ini untuk menyerapnya. Dan, meskipun mereka cenderung menyalahkan monopoli untuk masalah ini, mereka tidak membahas kenapa para pelaku monopoli tetap ada dalam situasi di mana kapasitas produktif yang meningkat secara berlebihan berhadapan dengan kurangnya permintaan. Dengan demikian, elemen krusial dari keseluruhan dalil mereka tetap tidak jelas. Dalam tinjauannya belakangan ini terhadap teori krisis Marxis, Erik Olin Wright mencatat semua kekurangan penting ini:
Kelemahan paling serius dalam posisi konsumsi-kurang (ini) adalah bahwa ia tidak memiliki teori tentang determinan dari tingkat akumulasi yang aktual…Banyak tulisan para penganut konsumsi-kurang telah, setidaknya secara implisit, memilih solusi Keynes terhadap persoalan ini dengan memfokuskan diri pada harapan subyektif para kapitalis akan keuntungan sebagai determinan kunci dari tingkat akumulasi. Dari sudut pandang Marxis, ini adalah solusi yang tidak mencukupi. Saya belum melihat sebuah teori yang terelaborasi tentang investasi dan tingkat akumulasi dari seorang teoritikus konsumsi-kurang yang beraliran Marxis, dan karena itu, sekarang ini, teori tersebut masih tidak lengkap.[25]
Di buku mereka, Baran dan Sweezy mengutip kontribusi yang dibuat oleh Joan Robinson, Michael Kalecki dan Joseph Steindl. Karena para pengarang ini adalah bagian integral dari tradisi teori Keynesian-kiri, adalah penting bagi kita untuk mengkaji implikasi dari analisis mereka masing-masing terhadap persoalan krisis.
Investasi memainkan peran sangat penting dalam analisa Keynesian dan Marxian. Tetapi dalam teori Keynesian penekanannya sangat diletakkan pada determinan jangka pendek dari keputusan investasi. Dengan demikian, ketika para pengarang di atas membahas keputusan investasi, mereka cenderung memfokuskan diri pada determinan jangka pendek, dan tidak begitu melihat perubahan struktural jangka panjang. Karya awal Joan Robinson hanya menyinggung perubahan struktural secara sepintas, sementara karya-karyanya yang kemudian bergantung terutama pada Kalecki.[26] Kalecki, pada gilirannya, ketika ia secara singkat membahas determinan jangka panjang, ia mengasumsikan begitu saja bahwa dengan ketiadaan faktor-faktor eksternal, maka kapitalisme cenderung menuju stagnasi. Oleh karena itu, adalah inovasi yang menjadi faktor utama yang mendorong investasi di atas tingkat yang diperlukan untuk mereproduksi sistem ini, dan ia menyatakan bahwa adalah penurunan intensitas inovasi dalam kapitalisme monopoli yang menyebabkan pertumbuhannya belakangan ini menjadi lambat.[27] Meskipun demikian, ini semua sangat kasuistis (ad hoc) dan dalam karya besarnya yang terakhir (1968), Kalecki menekankan bahwa sebuah penjelasan yang memuaskan tentang determinan jangka panjang dari investasi masih kurang.[28]
Terakhir, Steindl memulai dengan pendapatnya tentang ketidaklengkapan analisa jangka panjang Kalecki, dan mencoba memperbaiki kekurangan ini. Meskipun demikian, di akhir analisanya, ia juga terpaksa mendalilkan penurunan intensitas inovasi sebagai faktor utama penyebab lambatnya pertumbuhan kapitalisme modern, meskipun ia menekankan bahwa monopoli cenderung memperburuk dampak penurunan ini. Seperti Kalecki sebelumnya, ia pada akhirnya juga menyatakan bahwa sebuah penjelasan yang memuaskan belum ditemukan.[29] Dengan demikian, tidaklah mengejutkan apabila Baran dan Sweezy lebih suka membuat versi mereka sendiri dari persoalan ini.
IV. Kapitalisme Sebagai Akumulasi yang Membatasi Dirinya Sendiri
Teori konsumsi-kurang radikal dan Marxian cenderung memfokuskan diri pada permintaan efektif sebagai faktor yang membatasi akumulasi kapitalis. Meskipun demikian, dalam analisa Marx sendiri, permintaan efektif bukanlah sebuah persoalan intrinsik. Sebaliknya, dalam pandangannya, para kapitalis didorong untuk mengakumulasi secepat mungkin, sehingga kecenderungan normal dari sistem ini adalah reproduksi yang memperluas dirinya sendiri dan bukan stagnasi. Ini tidak menyiratkan bahwa proses akumulasi akan lancar atau krisis yang parsial karena kegagalan panen, dsb., tidak akan terjadi. Tetapi ia jelas menyiratkan bahwa batas-batas dari proses akumulasi tidak muncul dari kurangnya permintaan.
Apakah ini berarti, seperti yang dinyatakan dengan fasih oleh Rosa Luxemburg, ketika seseorang menolak teori konsumsi-kurang, maka ia terpaksa menerima pandangan bahwa akumulasi (dan karenanya, kapitalisme itu sendiri) bisa meluas tanpa batas? Tidak juga. Menurut Marx, batas dari akumulasi sepenuhnya berada di dalam proses itu sendiri. “Hambatan nyata dari produksi kapitalis adalah kapital itu sendiri.”[30]
Akumulasi kapitalis dimotivasi oleh profitabilitas. Tetapi, menurut Marx, akumulasi akan semakin memperkecil profitabilitas, sehingga ia cenderung menggerogoti dirinya sendiri. Inilah hukum kecenderungan tingkat keuntungan untuk jatuh yang terkenal dan akan kita bahas sebentar lagi. Pada saat yang sama, akumulasi menyiratkan perluasan hubungan kapitalis, peningkatan jumlah dan kekuatan proletariat.
Menurunnya profitabilitas berarti menurunnya tingkat akumulasi dan semakin sengitnya persaingan di antara para kapitalis (nasional dan internasional) untuk pasar, bahan mentah, dan tenaga kerja yang murah. Dengan tersingkirnya kapital yang lemah, terjadi peningkatan sentralisasi dan konsentrasi ekonomi (yaitu monopoli). Lebih jauh lagi, akan menjadi semakin penting bagi para kapitalis untuk menyerang upah, baik secara langsung melalui mekanisasi atau melalui impor tenaga kerja murah dan/atau ekspor kapital ke negara-negara miskin.
Pada saat yang sama, jumlah kelas pekerja dan tingkat pengalaman kolektifnya dalam melawan kapital terus meningkat. Jadi, serangan kapital yang meningkat pada pekerja bertemu dengan perlawanan dan pukulan-balik yang semakin meningkat (dalam jangka waktu panjang). Perjuangan kelas menjadi semakin intensif.
Adalah penting untuk menyadari bahwa kecenderungan profitabilitas untuk menurun (seperti yang dibahas oleh Marx) tidaklah disebabkan oleh upah yang tinggi, meskipun peningkatan upah riil bisa memperparah hal itu. Ini berarti krisis berkala yang disebabkan oleh penurunan profitabilitas tidak bisa dianggap berasal dari tuntutan atau perlawanan buruh, meskipun tentu saja situasi politik dan tahap sejarah yang berbeda sangat penting untuk menjelaskan bagaimana sistem ini secara keseluruhan bereaksi terhadap tiap  krisis. Meskipun demikian, selama hubungan kapitalis masih berlaku, maka kecenderungan umumnya akan terus bekerja. Itulah kenapa Marx menekankan bahwa tugas proletariat bukan hanya melawan kapital, tetapi menumbangkannya.
Sudah jelas terlihat dari uraian singkat ini bahwa kebangkitan “monopoli,” penurunan tingkat akumulasi dan semakin dalamnya perjuangan kelas dapat dijelaskan sebagai akibat dari hukum dasar perkembangan kapitalis, dan bukan sebagai faktor-faktor yang memunculkan hukum baru―seperti yang misalnya diupayakan oleh Baran dan Sweezy.[*] Karena hukum menurunnya profitabilitas sangat penting untuk penjelasan ini, maka kita perlu mengkajinya lebih jauh lagi.
A. Teori Marx Tentang Jatuhnya Tingkat Keuntungan
Persoalan profitabilitas memiliki dua aspek penting. Pertama, apa yang menjadi basis dari profitabilitas dan apa yang menentukan tingkatnya? Kedua, bagaimana kapitalisme mengembangkan basis ini dan apa kemudian efeknya pada tingkat profitabilitas?
Dalam jawaban terhadap pertanyaan pertama, Marx memulai dengan proses kerja. Ia mencatat bahwa dalam semua masyarakat, berbagai obyek yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia menyiratkan alokasi waktu-kerja masyarakat, aktivitas produktifnya, dengan jumlah dan kuantitas tertentu. Kalau tidak, reproduksi masyarakat menjadi mustahil.
Apabila alokasi kerja sosial bersifat mendasar bagi semua masyarakat, pengambilan kerja surplus adalah basis dari semua masyarakat berkelas. Kerja surplus ini adalah basis sosial dan material dari hubungan kelas. Pengambilan kerja surplus ini harus ditegakkan, karena ia memberikan kelas penguasa tidak hanya alat-alat konsumsi mereka, tetapi juga alat-alat dominasinya.
Dalam hampir semua masyarakat, alokasi waktu-kerja sosial dan pengambilan kerja surplus ini diatur secara sosial oleh tradisi, hukum, paksaan. Tetapi dalam masyarakat kapitalis, aktivitas produktif dilakukan secara pribadi oleh individu-individu kapitalis atas dasar keuntungan potensial. Reproduksi tidak dipertimbangkan secara eksplisit, tetapi ia harus dan memang terjadi. Di permukaan, adalah harga dan keuntungan dalam bentuk uang yang memberikan masukan harian yang menentukan keputusan para kapitalis. Tetapi Marx menyatakan bahwa pada kenyataannya adalah total waktu kerja (nilai kerja) dalam produksi komoditi yang mengatur fenomena uang. Pengaturan harga dan keuntungan oleh nilai kerja dan nilai surplus ini pada kenyataannya adalah cara dengan mana persyaratan sosial dari reproduksi mewujudkan dirinya dalam masyarakat kapitalis. Oleh sebab itu, untuk selanjutnya, kita akan membahas langsung nilai kerja dan nilai surplus, karena merekalah elemen pengatur yang sesungguhnya.
Selama proses kerja, buruh menggunakan instrumen kerja (pabrik dan peralatan) untuk merubah bahan mentah menjadi barang jadi. Oleh karena itu, total waktu kerja yang diperlukan untuk barang jadi terdiri dari dua bagian: pertama, waktu-kerja yang terkandung dalam alat-alat produksi (bahan mentah, pabrik dan peralatan) yang digunakan; dan kedua, waktu-kerja yang dikeluarkan oleh buruh di dalam proses kerja itu sendiri. Marx menyebut elemen yang pertama sebagai “kapital konstan” (C) karena ia muncul lagi dalam produk jadinya, sementara ia menyebut yang kedua sebagai “nilai yang ditambah oleh tenaga kerja yang hidup” (L). Dengan demikian, total nilai kerja dari produk jadi adalah C + L.
Dalam produk jadi, sebagian adalah sama dengan alat-alat produksi yang telah digunakan. Dengan demikian, nilai kerjanya adalah C, karena inilah nilai kerja dari alat-alat produksi yang telah digunakan. Ini menyisakan kita dengan produk bersih di satu sisi, dan nilai yang ditambah oleh tenaga kerja yang hidup (L) di sisi lain. Produk bersih adalah padanan material dari waktu kerja yang dipakai oleh tenaga kerja yang hidup L.
Apabila akan ada produk surplus, maka hanya sebagian dari produk bersih yang menggantikan barang-barang konsumsi yang digunakan pekerja. Nilai yang ditambah oleh tenaga kerja yang hidup (L), dengan demikian, terdiri dari dua bagian, yang satu terkait dengan nilai-kerja dari kebutuhan-kebutuhan konsumsi pekerja (V) dan yang satunya lagi terkait dengan nilai kerja dari produk surplus (S). Dengan kata lain, adalah selisih antara waktu yang digunakan pekerja untuk (L) dengan waktu yang diperlukan untuk mereproduksi diri mereka (V)―waktu kerja surplus mereka (S)―yang membuat produk surplus ada dan karenanya juga, keuntungan riil: S = L-V.
Dengan demikian, dibaginya waktu kerja yang dipakai oleh tenaga kerja yang hidup menjadi waktu kerja yang perlu (V) dan waktu kerja surplus (S) adalah basis tersembunyi dari masyarakat kapitalis. Marx menyebut rasio S/V sebagai “tingkat nilai surplus” atau “tingkat eksploitasi.” Apabila hal lainnya konstan, maka semakin tinggi tingkat eksploitasi, semakin besar jumlah nilai surplus yang ada, dan karenanya, semakin banyak keuntungan.
Waktu yang digunakan oleh pekerja untuk (L) ditentukan oleh lamanya jam kerja. Di sisi lain, waktu yang diperlukan untuk mereproduksi diri mereka sendiri (V) ditentukan oleh jumlah barang yang mereka konsumsi (“upah riil” mereka) dan waktu-kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang-barang tersebut. Dengan demikian, jumlah nilai surplus (S) dan tingkat eksploitasi (S/V) bisa ditingkatkan dengan dua cara: secara langsung dengan memperpanjang jam kerja L sehingga waktu kerja surplus langsung bertambah; dan secara tidak langsung, dengan mengurangi waktu-kerja yang diperlukan V sehingga lebih banyak jam kerja yang digunakan untuk waktu-kerja surplus. Metode terakhir untuk meningkatkan S dan S/V ini memerlukan penurunan upah riil pekerja atau peningkatan produktivitas kerja mereka, sehingga mereka memerlukan waktu lebih sedikit untuk memproduksi alat-alat konsumsi mereka, atau keduanya.
Para kapitalis terus mencoba semua metode untuk menaikkan tingkat eksploitasi. Tetapi, dengan berjalannya waktu, peningkatan kekuatan kelas pekerja telah membatasi dengan tajam upaya untuk memperpanjang jam kerja dan/atau mengurangi upah riil. Jadi, meningkatkan produktivitas kerja telah menjadi cara utama untuk menaikkan tingkat eksploitasi. Tetapi paradoks dari kapitalisme ini, menurut Marx, adalah bahwa cara yang digunakan untuk menaikkan tingkat eksploitasi cenderung menurunkan tingkat keuntungan. Produktivitas kerja yang meningkat mewujudkan dirinya dalam jatuhnya profitabilitas kapital.[31]
Tingkat nilai surplus S/V mengekspresikan pembagian jam kerja menjadi waktu-kerja yang diperlukan dengan waktu-kerja surplus. Ia adalah ukuran bagi tingkat eksploitasi pekerja produktif. Tetapi bagi para kapitalis, yang sangat penting adalah tingkat profitabilitas kapital. Dari sudut pandang mereka, mereka menginvestasikan uang dalam alat-alat produksi (C) dan pekerja (V) dengan maksud menghasilkan keuntungan (S). Jumlah keuntungan (S) dibandingkan dengan investasi mereka (C + V) adalah ukuran kesuksesan si kapitalis. Dengan kata lain, adalah tingkat keuntungan S/(C + V) yang mengatur akumulasi kapital.
Di sinilah paradoks terjadi. Dalam pertempuran yang terus-menerus di antara mereka,[*] kapital individual terus dipaksa untuk menurunkan ongkos per satuan produk agar bisa menang dari para pesaing mereka (pertempuran kalkulator kantong sekarang ini adalah contoh yang sangat bagus dari proses ini). Sepanjang itu untuk kesuksesan dalam pertempuran penjualan, maka apa saja yang bisa menurunkan ongkos per satuan produk akan membantu.
Tetapi para kapitalis juga terus terlibat dalam sebuah pertempuran lain―pertempuran produksi, dalam proses kerja. Dan di sinilah mekanisasi muncul sebagai cara utama untuk meningkatkan produktivitas kerja, dan karenanya, untuk  menurunkan ongkos per satuan produk. Para kapitalis menggaji buruh untuk periode waktu tertentu, dan tujuan mereka adalah memeras sebesar mungkin produktivitas buruh di dalam proses kerja dengan biaya serendah mungkin. Ini menyiratkan tidak hanya perjuangan dalam upah riil dan intensitas serta lamanya waktu kerja, tetapi juga perjuangan dalam watak dari proses kerja itu sendiri. Dari awal, kapitalis telah berupaya “menyempurnakan” proses kerja dengan membaginya lagi ke dalam tugas-tugas yang semakin terspesialisasi dan rutin. Dengan adanya kontrol kapitalis atas proses kerja, aktivitas produktif manusia dibuat semakin mekanik, otomatis. Tidaklah mengherankan apabila fungsi manusia yang sudah termekanisasi ini semakin digantikan oleh mesin. Dengan digantikannya beberapa fungsi manusia oleh mesin, fungsi yang lain malah semakin berada di bawah tirani mekanik, sampai beberapa dari fungsi ini juga digantikan oleh mesin, dan seterusnya.[*]
Dengan demikian, kecenderungan menuju mekanisasi ini adalah metode kapitalis yang dominan untuk meningkatkan produktivitas sosial tenaga kerja. Ia muncul dari kontrol kapitalis atas proses kerja, aktivitas produktif manusia. Karenanya, bukan peningkatan perlawanan pekerja atau upah riil yang menjadi sebab intrinsik dari mekanisasi, meskipun mereka bisa mempercepat kecenderungan ini.
Peningkatan mekanisasi memunculkan apa yang disebut Marx dengan peningkatan komposisi teknis dari kapital. Semakin banyak alat-alat produksi dan bahan mentah yang digunakan per sejumlah pekerja. Menurut Marx, hal ini pada gilirannya menyiratkan bahwa dari total nilai kerja (C + L) produk jadi, bagian yang berasal dari alat-alat produksi yang digunakan akan semakin banyak dan bagian yang berasal dari tenaga kerja yang hidup akan semakin sedikit. Dengan kata lain, peningkatan komposisi teknis dalam bentuk nilai tercermin di peningkatan rasio “tenaga kerja yang mati dengan tenaga kerja yang hidup,” C dengan L.
Seperti yang telah kita lihat, tingkat keuntungan adalah S/(C + V). Tetapi S = L-V, karena waktu-kerja surplus (S) sama dengan waktu yang digunakan pekerja untuk mengerjakan suatu produk (L) dikurangi dengan waktu yang diperlukan untuk mereproduksi diri mereka sendiri (V). Dengan demikian, bahkan apabila “pekerja hidup di udara” (V=0), maka S paling maksimal adalah Smax/C = L/C. Oleh karena itu, L/C adalah batas atas dari tingkat keuntungan, sementara batas bawahnya tentu saja adalah nol. Sekarang, apabila peningkatan komposisi teknis memang merefleksikan dirinya sebagai peningkatan rasio C/L—dan karenanya penurunan rasio L/C—maka tingkat keuntungan yang aktual akan semakin tertekan di antara batas atas yang menurun dengan batas bawah yang tetap, sehingga ia pasti memperlihatkan kecenderungan menurun. Inilah yang dimaksud Marx dengan kecenderungan tingkat keuntungan untuk jatuh.
Kecenderungan menurun yang digambarkan di atas terlepas dari bagaimana L dibagi di antara V dan S, dan karenanya juga terlepas dari tingkat eksploitasi S/V. Pada kenyataannya, apabila upah riil pekerja konstan, maka peningkatan produktivitas kerja akibat mekanisasi akan terus meningkatkan S/V; semakin besar produktivitas kerja, semakin sedikit waktu yang diperlukan pekerja untuk memproduksi sebundel barang konsumen, sehingga bagian dari jam kerja yang menjadi waktu-kerja surplus semakin besar. Bahkan ketika upah riil naik, selama ia naik tidak lebih cepat daripada produktivitas, maka tingkat eksploitasi akan terus naik. Dengan demikian, adalah sangat mungkin ditemui peningkatan upah riil dengan kenaikan tingkat eksploitasi.[32] Pada kenyataannya, inilah situasi umum yang digambarkan oleh Marx, dengan dasar bahwa pekerja tidak akan pernah bisa mendapatkan semua capaian produktivitas dari mekanisasi tanpa mengakibatkan akumulasi terhenti dan karenanya, membunuh angsa emasnya.[*] Bagi Marx, perjuangan kelas untuk upah riil beroperasi dalam batas-batas obyektif tertentu, batas-batas yang diberikan oleh akumulasi kapital. Batas-batas ini berasal dari dalam kapitalisme itu sendiri, dan hanya dapat dilampaui dengan meruntuhkannya.
Hampir semua komentator Marxis menerima sebagai sebuah fakta bahwa mekanisasi adalah kenyataan produksi kapitalis yang mewujud di mana-mana. Tetapi, satu mazhab penting menganggap bahwa mekanisasi tidak disebabkan oleh kontrol kapitalis atas proses kerja, seperti yang dinyatakan Marx, tetapi disebabkan oleh reaksi kapital terhadap perlawanan pekerja dan/atau kenaikan upah riil (dalam jangka panjang). Seperti biasa, mereka mulai dengan mendalilkan kenaikan upah riil di bawah kondisi produksi tertentu, yang mengarah pada kejatuhan tingkat keuntungan, yang pada gilirannya, mempengaruhi kapitalis untuk mengganti pekerja dengan mesin. Dari sudut pandang ini, tentu saja mekanisasi dan dampaknya berupa peningkatan produktivitas kerja adalah cara utama untuk meningkatkan profitabilitas, sementara kenaikan upah cenderung menguranginya. Tergantung faktor-faktor apa yang berlaku, kata mereka, tingkat keuntungan bisa naik atau turun.[**] Paul Sweezy dan Maurice Dobb, misalnya, keduanya menganut sudut pandang ini.[33]
Analisa ini benar―sejauh yang dinyatakannya. Kenaikan upah riil memang akan menyebabkan mekanisasi, dan ini bisa atau bisa tidak mengimbangi dampak upah yang lebih tinggi pada profitabilitas. Tetapi dalam teori Marx, kenaikan upah riil itu sendiri dimungkinkan oleh sebuah sebab yang sebelumnya terjadi, yaitu mekanisasi yang muncul dari pertempuran produksi. Jadi, efek yang dianalisa oleh Sweezy dan Dobb bersifat sekunder, terjadi setelah (dan memang hanya dimungkinkan oleh) sebab utamanya. Karena mereka mengabaikan sebab utamanya, tidaklah mengherankan apabila mereka tidak bisa menemukan penyebab jatuhnya tingkat keuntungan.
Keberatan utama yang lain terhadap hukum ini adalah bahwa mekanisasi (apapun sebabnya) tidak selalu menyiratkan kecenderungan jatuhnya tingkat keuntungan. Bayangkan pekerja dalam jumlah tertentu, sehingga L bersifat terberi. Mekanisasi memiliki arti bahwa jumlah alat-alat produksi yang digunakan oleh para pekerja ini bertambah. Tetapi hal itu juga disertai oleh peningkatan produktivitas kerja dan dengan demikian, penurunan nilai kerja dari komoditi, karena sekarang diperlukan waktu lebih sedikit untuk memproduksi suatu komoditi. Oleh sebab itu, nilai alat produksi (C) tidak akan meningkat sepesat jumlahnya dan bahkan bisa turun. Marx menyatakan bahwa walau bagaimanapun, C akan naik, sehingga C/L akan meningkat dan kecenderungan jatuhnya tingkat keuntungan akan terjadi. Tetapi, para kritikus menanyakan, bagaimana seandainya nilai kerja dari alat produksi turun secepat atau bahkan lebih cepat daripada kenaikan jumlahnya? Maka C/L akan konstan atau bahkan turun, sehingga tidak akan ada tekanan untuk menurun pada tingkat keuntungan.
Harus dinyatakan sejak awal bahwa keberatan ini valid, karena ia menunjuk pada kelemahan di argumen kejatuhan tingkat keuntungan. Seperti yang dikonstruksikan di literatur zaman ini, terdapat suatu anggapan yang kuat bahwa peningkatan rasio mesin dengan pekerja juga menyiratkan peningkatan rasio tenaga kerja “mati” dengan tenaga kerja hidup (yaitu C dengan L). Tetapi upaya untuk menjelaskan hubungan persisnya di antara keduanya (seperti Yaffe)[34] tidaklah memuaskan, sehingga kemungkinan skenario yang digambarkan oleh para kritikus akan selalu terbuka. Isu ini masih diperdebatkan, dan dibahas lebih panjang dalam sebuah artikel yang nanti akan terbit, dan dirujuk dalam catatan kaki bertanda bintang yang sebelumnya.
Keberatan lain yang terkenal sekarang ini terkait dengan gagasan bahwa para kapitalis tidak akan pernah memilih menerapkan teknik yang menurunkan tingkat keuntungan mereka. Oleh karena itu, jatuhnya tingkat keuntungan secara otomatis dieksklusi. Argumen ini sering dinyatakan secara matematis, seperti dalam apa yang disebut dengan “Teorem Okishio,”[35] tetapi pengandaian dasarnya sama dengan yang mendasari kerangka analisa yang digunakan secara luas, mulai dari Keynesian kiri seperti Joan Robinson sampai dengan Marxis seperti Bob Rowthorn. Dalam kaitannya dengan pembahasan di atas, kesalahan utamanya terletak pada pengandaian bahwa kemajuan teknis hanya merupakan persoalan “pilihan” kapitalis dan bukan karena kebutuhan mereka. Jauh di masa lalu, Marx mencatat bahwa di bawah kapitalisme, adalah kebutuhan akibat persaingan yang memaksa para kapitalis untuk memilih teknik yang bisa menghasilkan ongkos per satuan produk yang lebih rendah, bahkan ketika ia bisa berdampak pada turunnya tingkat keuntungan. Siapapun yang paling cepat melakukan hal ini akan menjual lebih murah daripada yang lain. Satu-satunya “pilihan” yang kemudian ada bagi para kapitalis lainnya adalah antara menghasilkan keuntungan dengan tingkat yang lebih rendah dari sebelumnya atau tidak menghasilkan keuntungan sama sekali, karena produk mereka memakan biaya yang terlalu besar.[36]
Terakhir, beberapa Marxis menolak gagasan tentang kenaikan C/L atas dasar empiris. Karena C adalah nilai kerja dari alat-alat produksi dan L adalah nilai yang ditambahkan oleh tenaga kerja yang hidup, maka nilai uang dari alat-alat produksi adalah K dan nilai uang yang ditambahkan atau “produk nasional bersih” adalah Y. Atas dasar ini “rasio kapital-output” K/Y diselidiki, dan karena statistik resmi menunjukkan bahwa ia cenderung konstan dalam jangka waktu panjang, maka hal ini dikatakan bertentangan dengan gagasan tentang kenaikan C/L.[37]
Adalah menarik bahwa orang-orang Marxis yang sama ini sangat menentang penerimaan begitu saja atas statistik resmi tentang pengangguran, tingkat kemiskinan, luasnya kekurangan gizi, dsb.―atas dasar bahwa konsepsi borjuis tentang kategori-kategori ini begitu mendominasi konstruksi mereka, sehingga membuat mereka nyaris tidak berguna. Statistik pengangguran, misalnya, tidak menghitung mereka yang menyerah dalam mencari pekerjaan, mereka yang pada dasarnya tidak pernah berhasil mendapatkan pekerjaan (seperti remaja kulit hitam), dan mereka yang tidak masuk ke dalam angkatan kerja karena tidak ada harapan di dalamnya (seperti ibu rumah tangga). Dengan demikian, adalah biasa bagi kaum radikal dan Marxis untuk memperkirakan “pengangguran riil” dua atau tiga kali lebih besar daripada data resmi. Tetapi ketika hal itu adalah mengenai kategori yang benar-benar mendasar seperti “kapital” dan “nilai tambah,” tiba-tiba statistik resmi diterima begitu saja tanpa dipertanyakan. Kita akan kembali ke pokok bahasan yang penting ini dalam diskusi tentang teori krisis dengan argumen “tekanan atas keuntungan.” Sementara ini, cukup bagi kita untuk melihat bahwa seorang ahli statistik Marxis yang mau repot mengkaji bagaimana statistik ini dibuat, dan sudah mengkoreksinya atas dasar perbedaan konseptual antara kategori Marxis dengan ekonomi ortodoks, telah benar-benar menemukan bahwa rasio “kapital-output” tampak terus naik.[38]
B. Sejarah Teori Jatuhnya Tingkat Keuntungan
Kecenderungan tingkat keuntungan untuk jatuh dengan berkembangnya kapitalisme telah diterima secara luas oleh para ekonom klasik sebagai sebuah fakta yang tak dapat dibantah. Permasalahannya terletak pada penjelasan terhadap fenomena ini.
Adam Smith (1770-an), misalnya, mencatat bahwa ketika lebih banyak kapital masuk secara berbondong-bondong ke dalam industri tertentu, mereka akan meningkatkan penawaran, menurunkan harga, dan dengan demikian, mengurangi keuntungan. Dengan cara yang sama, ia menyatakan bahwa dengan semakin majunya akumulasi, maka keseluruhan kapital akan semakin berlimpah dan hal ini akan menekan tingkat keuntungan.
Para kritikus dengan cepat menunjukkan bahwa kapital hanya akan masuk secara berbondong-bondong ke industri tertentu apabila industri itu memiliki tingkat keuntungan di atas rata-rata; lagipula, dengan masuk secara berbondong-bondong seperti itu, mereka hanya menurunkan kembali tingkat keuntungan menjadi rata-rata. Dengan demikian, tingkat rata-ratanya tetap tidak jelas, dan dalam Smith, tidak ada alasan kenapa akumulasi mesti mengubahnya.
Sekitar empat puluh tahun kemudian, David Ricardo (1810-an) memberikan penjelasan alternatif. Ia menyatakan dengan berkembangnya masyarakat, lebih banyak tanah harus ditanami untuk memberi makan penduduk yang bertambah banyak. Ini berarti menanami tanah yang semakin tidak subur, sehingga makanan menjadi semakin mahal untuk diproduksi. Dalam peristilahan Marxian, nilai kerja dari makanan meningkat. Dengan demikian, untuk suatu jam kerja tertentu, waktu-kerja yang diperlukan bertambah sementara waktu-kerja surplusnya berkurang. Jadi, dengan berkembangnya masyarakat, tingkat nilai surplus menurun dan dengannya, tingkat keuntungan juga menurun―bukan karena upah riil pekerja naik, tetapi karena produktivitas pekerja pertanian turun.
Kesimpulan sangat penting dalam Ricardo adalah bahwa produktivitas pertanian cenderung menurun. Dalam kritiknya terhadap teori sewa Ricardian, Marx menunjukkan bahwa kesimpulan ini tidak logis dan secara empiris tidak benar. Memang, keseluruhan sejarah kapitalis dicirikan oleh produktivitas kerja yang meningkat, baik dalam industri maupun pertanian. Seperti yang telah kita lihat di bagian sebelumnya, penjelasan Marx sendiri tentang jatuhnya tingkat keuntungan didasarkan pada peningkatan produktivitas kerja sosial dan peningkatan nilai surplus.
Tingkat keuntungan jatuh bukan karena produktivitas tenaga kerja berkurang, tetapi karena produktivitasnya bertambah. Bukan karena eksploitasi pekerja berkurang, tetapi karena eksploitasinya bertambah…,[39]
Marx menganggap penjelasannya tentang “kecenderungan tingkat keuntungan untuk jatuh dengan berkembangnya masyarakat (kapitalis)” sebagai “salah satu keberhasilan terbesar dalam mengatasi kesulitan besar yang menghadang ilmu ekonomi sebelumnya.” Ia adalah bagian penting dari analisanya terhadap hukum gerak sistem kapitalis. Tetapi, yang cukup aneh adalah bahwa hukum ini memainkan peran yang relatif kecil dalam sebagian besar sejarah pemikiran Marxis. Misalnya, ia benar-benar absen dalam teori konsumsi-kurang dan seperti yang akan kita lihat di bagian yang berikut, ia juga absen dalam teori “tekanan atas keuntungan.”
Sebagian sebab dari pengabaian ini adalah keberatan yang sebelumnya dibahas terhadap logika penjelasan Marx tentang kecenderungan jatuhnya tingkat keuntungan. Tetapi alasan lain yang mungkin jauh lebih penting untuk menolak hukum ini bersifat politis.[40] Dinyatakan bahwa menganggap kapitalisme diatur oleh “hukum gerak” adalah sama dengan memperlakukan tatanan sosial seolah-olah sebagai mesin atau suatu proses fisik. Ini meremehkan dan merendahkan peran manusia dalam menentukan jalannya peristiwa. Adalah manusia, dan bukan hukum gerak, yang membuat sejarah. Lagipula, dinyatakan bahwa kepercayaan terhadap proposisi bahwa tingkat keuntungan cenderung jatuh akan mengarah kepada sikap pasif dan fatalistis terhadap tugas menumbangkan kapitalisme. Terakhir, terkadang ditambahkan bahwa walau bagaimanapun, analisa tentang sebab-sebab krisis terlalu abstrak untuk digunakan dalam politik praktis dari perjuangan kelas.
Tidak diragukan lagi bahwa Marx memang memahami sejarah kapitalis sebagai hukum gerak, dan memahami sejarah manusia secara umum sebagai kekuatan obyektif yang bertindak atas dan dengan begitu, membatasi tindakan manusia. Tetapi ini juga adalah Marx yang sama, yang mengangkat perjuangan kelas ke tingkat yang tertinggi, yang dengan aktif memperjuangkan penumbangan kapitalisme dengan segera (bukan di suatu masa depan yang fatalistis), dan yang berpartisipasi dalam politik yang paling praktis dengan dasar analisa teoritisnya. Adakah kontradiksi di antara kedua aspek dari Marx ini?
Tidak juga. Sebaliknya, seperti yang dinyatakan oleh Henryk Grossman (Jerman), Paul Mattick (AS) dan David Yaffe (Inggris), adalah benar-benar dari kerangka teoritis Marx, politik revolusioner muncul.
Grossman adalah orang Marxis penting pertama yang menggeser pembahasan krisis dari teori ketidaksebandingan dan konsumsi-kurang. Bersikap sangat kritis terhadap teori-teori ini baik karena alasan logis maupun politis, Grossmann malah menekankan sangat pentingnya hukum jatuhnya tingkat keuntungan bagi teori krisis. Ia mencatat bahwa yang terutama penting dalam Marx adalah kenyataan bahwa dengan jatuhnya tingkat keuntungan, pertumbuhan jumlah total keuntungan pasti akan melambat dan pada akhirnya berhenti. Pada titik di mana investasi baru tidak lagi menciptakan tambahan keuntungan, investasi akan dikurangi dan sebuah krisis akan terjadi.[41] Dengan menyebarnya krisis, para kapitalis yang lebih lemah dan kurang efisien akan tersapu bersih, dan yang lebih kuat akan mampu membeli aset mereka dengan harga yang amat sangat murah. Dengan meningkatnya pengangguran, posisi pekerja diperlemah. Upah riil cenderung turun, sementara proses kerja cenderung diintensifkan, sehingga tingkat eksploitasi meningkat. Semua faktor ini menaikkan tingkat keuntungan. Jadi, tiap krisis itu sendiri menyiapkan tahap penyembuhannya dan siklus berikutnya dari pertumbuhan yang pesat dan kebangkrutan.
Tidak ada dari pemikiran di atas yang menyatakan kapan krisis tertentu akan terjadi, karena banyak faktor bisa menghambat atau mempercepat dampak dari jatuhnya tingkat keuntungan. Dalam hal ini, perjuangan kelas sangat penting tidak hanya dalam persoalan waktu terjadinya krisis, tetapi juga dalam medan pertempuran melawan dampaknya. Meskipun demikian, yang jauh lebih penting bagi Grossman adalah bahwa krisis merupakan “situasi revolusioner yang obyektif.” Dengan demikian, menunjukkan kepastian terjadinya krisis dalam kapitalisme adalah sama dengan menunjukkan keharusan bersiap-siap menyambut dan mengambil momen dari periode ini, yang secara obyektif revolusioner. Terakhir, berdasarkan pembacaannya terhadap Marx, ia membuat hubungan yang penting antara teori dengan praktek:
…tidak ada sistem ekonomi yang, tidak peduli betapa lemahnya ia, runtuh dengan sendirinya secara otomatis. Ia mesti “ditumbangkan.” Analisa teoritis terhadap kecenderungan obyektif yang mengarah pada lumpuhnya sistem ini, berguna untuk menemukan “mata rantai yang lemah.” Perubahan hanya akan datang melalui bekerjanya faktor-faktor subyektif secara aktif.[42]
Paul Mattick memperluas karya Grossman dengan berbagai cara. Yang terutama penting adalah pendapat Mattick bahwa alasan Marx berbicara tentang masyarakat kapitalis sebagai hukum gerak adalah karena kapitalisme diatur bukan oleh keputusan sadar manusia, tetapi oleh “sesuatu-yang-seperti-hubungan”―hubungan pasar, harga dan keuntungan. Seperti Grossmann sebelumnya, Mattick menekankan bahwa krisis menyediakan kesempatan revolusioner dan reaksioner, tetapi hanya perjuangan kelas yang dapat menentukan jalan mana yang akan ditempuh. Apakah kapitalisme akan mengarah kepada fasisme atau mengarah kepada sosialisme, tidak ditentukan sebelumnya.[43]
Dalam beberapa tahun terakhir, David Yaffe mencoba menyajikan analisa ekonomi Marx dan menerapkannya pada krisis yang terjadi sekarang ini. Analisa penuhnya berada di luar lingkup diskusi ini. Sejauh mengenai teori krisis, sebagai tambahan terhadap pendapat yang sama dengan yang dikeluarkan oleh Grossmann dan Mattick, Yaffe menambahkan sebagai berikut. Pertama, karena krisis muncul dalam harga dan keuntungan, maka terdapat kecenderungan untuk memikirkan harga dan keuntungan sebagai penyebab krisis. Misalnya, karena secara definisi, keuntungan adalah selisih antara penjualan dengan ongkos, maka apapun yang menyebabkan turunnya profitabilitas akan diartikan sebagai cara lain untuk menjabarkan turunnya keuntungan. Tetapi sebagian dari ongkos hanya merupakan harga beberapa barang, seperti bahan mentah, dsb. (dan dengan demikian, penjualan industri lain). Oleh sebab itu, turunnya profitabilitas cenderung dibandingkan dengan bagian sisa dari ongkos, dengan upah, dan dari sini hanya diperlukan langkah kecil untuk menuju argumen bahwa upah “tinggi” adalah penyebab turunnya tingkat keuntungan. Dengan cara ini, akibat dijadikan sebab.
Pemikiran yang sama bisa berlaku untuk stagnasi, peningkatan jumlah pengangguran, inflasi, peningkatan pengeluaran negara dan semakin tajamnya perjuangan kelas di seluruh dunia. Menurut Yaffe, masing-masing merupakan fenomena dari perkembangan krisis, bukan penyebabnya. Dengan jatuhnya tingkat keuntungan, akumulasi akan melambat dan jumlah pengangguran akan meningkat. Para kapitalis akan menaikkan harga untuk mengusahakan dan mempertahankan profitabilitas, sehingga memunculkan spiral inflasi. Pada saat yang sama, negara dipaksa untuk ikut campur tangan, di satu sisi, untuk mempertahankan kesempatan kerja pada tingkat yang secara politis dapat diterima, dan di sisi lain, untuk mensubsidi dan bahkan mengambilalih industri-industri yang sakit. Pengeluaran negara, karenanya, meningkat dengan cepat. Tetapi pengeluaran negara yang melampaui pendapatannya (deficit financing) hanya mempercepat inflasi, sementara upayanya untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja menghambat upah untuk jatuh ke tingkat yang dapat mengembalikan lagi profitabilitas. Dengan cara ini, kontradiksi diperdalam, dan menjadi semakin sulit untuk menemukan kebijakan yang “bisa berhasil.” Ini, menurut Yaffe, adalah tahap di mana kita semua berada, di seluruh dunia kapitalis.[44]
C. Perjuangan Kelas dan Tekanan Atas Keuntungan
Setiap krisis menekankan pentingnya keuntungan bagi produksi kapitalis, dan memunculkan kembali pertanyaan apa yang mengatur profitabilitas.
Setiap penurunan profitabilitas, pada gilirannya, cepat atau lambat, cenderung dilacak ke upah yang tinggi. Sekarang, memang benar bahwa apabila hal lainnya konstan, maka penurunan upah akan meningkatkan keuntungan. Tetapi itu tidak berarti bahwa suatu penurunan keuntungan pasti disebabkan oleh karena upah yang berlebihan. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengetahui mana sebab dan mana akibatnya?
Dalam analisa Marx, peningkatan upah riil diduga akan menyertai kenaikan tingkat eksploitasi, sehingga dengan sendirinya peningkatan upah tidak akan menyebabkan jatuhnya profitabilitas. Dengan demikian, dalam pemikiran Marxis, hanya ketika peningkatan upah riil cukup besar untuk menurunkan tingkat eksploitasi, maka kita bisa menyatakan bahwa jatuhnya profitabilitas disebabkan (setidaknya sebagian) oleh “upah yang tinggi.”[*]
Marx tentu saja menolak penjelasan ini atas dasar akumulasi kapital itu sendiri memberikan batas-batas obyektif yang mengekang perjuangan untuk upah, sehingga secara umum, tingkat eksploitasi naik. Pada kenyataannya, ia mengatakan bahwa tingkat keuntungan jatuh karena eksploitasi pekerja meningkat, dan bukan menurun.
Pada tingkat yang paling abstrak, padanan uang dari tingkat nilai surplus S/V adalah rasio “keuntungan” dengan “upah” TT/W. Oleh sebab itu, menurunnya rasio keuntungan-upah dapat dianggap bukti dari kenaikan upah riil yang berlebihan. Tetapi cara pikir seperti ini salah.
Pertama, adalah sangat mungkin untuk mendapati eksploitasi pekerja yang lebih besar dan karenanya, mendapati mereka memproduksi lebih banyak produk surplus, sementara di saat yang sama, mendapati para kapitalis tidak bisa merubahnya menjadi keuntungan uang. Misalnya, dalam krisis yang disebabkan oleh jatuhnya tingkat keuntungan (a la Marx), dengan bangkrutnya beberapa kapital, yang lain akan kekurangan pembeli bagi sebagian produk mereka. Harga akan jatuh, dan dengannya jatuh pula keuntungan dan rasio keuntungan dengan upah. Untuk mengimbangi hal ini, para kapitalis yang masih bertahan akan membuat pekerja mereka bekerja lebih keras, meningkatkan eksploitasi mereka, sebagai upaya untuk menekan biaya dan bertahan dalam bisnis. Dengan demikian, dalam kerasnya krisis, rasio keuntungan-upah yang menurun akan disertai dengan naiknya tingkat eksploitasi. Tambahan lagi, dalam keadaan ini, keduanya adalah gejala, dan bukan penyebab krisis.
Tetapi pola di atas tidak akan terjadi sebelum pecahnya krisis. Oleh karenanya, bukankah sah untuk memandang rasio “keuntungan-upah” sebagai indeks dari tingkat eksploitasi―selama periode non-krisis? Apabila ya, maka jatuhnya rasio keuntungan-upah sebelum krisis adalah bukti kuat bahwa pekerja memang berhasil menaikkan upah mereka dengan cukup cepat untuk menurunkan tingkat eksploitasi dan karenanya, memunculkan krisis. Adalah identifikasi teoritis dari TT/W sebagai indeks S/V yang mencirikan cabang “tekanan atas keuntungan” dari teori krisis Marxis, seperti yang dibuat oleh Glyn, Sutcliffe dan Rowthorn di Inggris serta Boddy dan Crotty di Amerika Serikat.[45]
Di permukaan, argumen mereka bersandar pada pengamatan empiris bahwa krisis didahului oleh menurunnya rasio keuntungan-upah. Tetapi pengamatan serupa juga sering dilakukan oleh ekonom borjuis, seperti baru-baru ini dalam kasus William Nordhaus dari Brookings Institute.[46] Meskipun demikian, berbeda dengan Nordhaus, para Marxis melangkah satu tahap lebih jauh dengan mengidentifikasi rasio keuntungan-upah yang diamati dengan rasio eksploitasi. Dari sini disimpulkan bahwa menurunnya profitabilitas memang merupakan ekspresi dari jatuhnya tingkat nilai surplus, yang pada gilirannya hanya bisa disebabkan oleh peningkatan upah riil yang cukup besar. Ironisnya, apabila si ekonom borjuis, Nordhaus, menyalahkan jatuhnya tingkat keuntungan pada “ongkos kapital,” para Marxis menghubungkannya dengan “persoalan tenaga kerja!”
Dalam batas tertentu, argumen tekanan atas keuntungan sama tuanya dengan kapitalisme. Tidak ada yang lebih tahu dari para kapitalis betapa pentingnya keuntungan bagi sistem ini, dan karena alasan yang jelas, tidak ada yang lebih cepat dari mereka dalam menyalahkan upah yang tinggi sebagai penyebab krisis. Dalam hal ini, argumen tekanan atas keuntungan versi kapitalis akan muncul di setiap krisis.
Pada tingkat yang sedikit lebih abstrak, para ekonom borjuis telah lama menyatakan bahwa jatuhnya profitabilitas disebabkan oleh karena kenyataan bahwa pekerja telah mampu meningkatkan “bagian” mereka dari produk nasional bersih (tentu saja dengan mengorbankan “bagian” para kapitalis). Mengomentari dua orang di zamannya, yaitu Frederic Bastiat (1840-an) di Perancis dan Henry Carey (1860-an) di Amerika, Marx menyatakan bahwa sekalipun “mereka menerima kenyataan tentang kecenderungan jatuhnya tingkat keuntungan…mereka menyatakan [dengan keliru] bahwa hal itu hanya disebabkan oleh karena pertumbuhan nilai bagian pekerja…”[47]
Dalam banyak hal, teori tekanan atas keuntungan versi Marxis yang sekarang ini sama dengan teori Bastiat dan Carey. Erik Olin Wright, dalam tinjauannya terhadap teori-teori krisis Marxis, menyimpulkan versi modernnya dengan cara berikut:
Argumen pokoknya sangat sederhana: bagian relatif dari pendapatan nasional yang menjadi milik pekerja dan kapitalis hampir semuanya merupakan akibat dari kekuatan relatif mereka dalam perjuangan kelas. Apabila kelas pekerja berhasil mengembangkan gerakan buruh yang cukup kuat untuk memenangkan kenaikan upah di atas peningkatan produktivitas, maka akan ada kecenderungan bagi tingkat eksploitasi untuk menurun dan oleh karenanya, tingkat keuntungan juga akan jatuh (“ditekan” oleh rekening gaji). Turunnya keuntungan itu akan mengakibatkan pula turunnya investasi dan dengan demikian, melambatnya peningkatan produktivitas. Hasil akhirnya adalah krisis ekonomi.[48]
Dengan demikian, versi Marxis modernnya mengikuti logika ekonomi dari Bastiat dan Carey yang menganggap kecenderungan jatuhnya tingkat keuntungan sebagai akibat dari menurunnya tingkat eksploitasi. Tetapi ada perbedaan politis yang sangat penting di antara kedua versi ini, di mana apabila para ekonom borjuis mengutuk situasi ini, maka para Marxis merayakannya. Teori tekanan atas keuntungan versi Marxis menjadikan perjuangan kelas atas kondisi kerja sebagai faktor krusial yang (pada akhirnya) menentukan arah reproduksi kapitalis. Bagi para Marxis ini, kenyataan bahwa perkembangan sistem ini telah mencapai tahap di mana buruh cukup kuat untuk memunculkan krisis adalah tanda yang penuh harapan. Apabila kelas pekerja mampu membuat sistem ini berlutut melalui tuntutan upah, maka ia sudah cukup kuat untuk melawan serangan terhadap upah rill, yang merupakan bagian dan paket dari proses “penyembuhan.” Mereka bahkan mungkin cukup kuat untuk “menyelesaikan” krisis dengan mengambilalih kekuasaan negara.
Kekuatan besar teori ini adalah kesederhanaannya. Bahkan dalam kapitalisme, kita memiliki “politik sebagai panglima.” Adalah politik praktis dari perjuangan kelas dan bukan suatu hukum gerak yang abstrak, yang perlu kita analisa untuk memahami sejarah kapitalisme. Akumulasi kapital memang memiliki batas internal, tetapi adalah tenaga kerja, dan bukan “kapital itu sendiri” (seperti yang dikatakan Marx), yang menjadi penghambat pokok akumulasi.
Kesederhanaan benar-benar menjadi kekuatan hanya apabila penjelasan sederhana itu benar. Lagipula, hukuman bagi kesalahan adalah kegagalan. Sehingga kita balik lagi ke pandangan teoritis utamanya, dan bertanya: sebenarnya bisakah kita menyimpulkan penurunan tingkat eksploitasi dari penurunan rasio keuntungan-upah yang diamati? Dengan kata lain, apakah TT/W merupakan indeks dari S/V? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu melacak bentuk uang dari S dan V.
Bayangkan akhir dari sebuah siklus reproduksi total kapital. Dimulai dengan penerimaan penjualan, kita kemudian bisa melacak penggunaan uang ini.
Seandainya penjualan total (M) berjumlah $100.000. Dari sini, para kapitalis menyisihkan $40.000 untuk mengganti biaya bahan baku dan mesin-mesin yang digunakan (C) dalam memproduksi komoditi yang dijual, dan $20.000 untuk mengganti upah yang dibayar di muka (Vp) kepada pekerja produksi yang dipekerjakan dalam proses produksi.[*] Jumlah sisanya, yaitu $40.000, adalah apa yang disebut oleh kaum kapitalis itu sendiri sebagai keuntungan kotor penjualan (S). Ia adalah penerimaan penjualan komoditi dikurangi ongkos tenaga kerja dan bahan mentah yang digunakan untuk memproduksi komoditi ini. Dari sudut pandang keseluruhan sistem, keuntungan kotor ini mewakili padanan uang dari produk surplus.
Dari sudut pandang Marxian, “keuntungan kotor” (S) adalah padanan uang dari waktu-kerja surplus para pekerja produksi, sementara upah (Vp) para pekerja ini adalah padanan uang dari waktu kerja yang diperlukan mereka. Oleh karena itu, indeks yang tepat dari eksploitasi pekerja produksi―yaitu dari tingkat nilai surplus―adalah:
S’/Vp = 40.000/20.000 = 200%
Tetapi bagi para kapitalis, hal ini terlihat berbeda. Dari keuntungan kotor, mereka masih harus mengganti uang yang telah mereka keluarkan ketika mencoba menjual komoditi. Pengeluaran penjualan ini, meminjam istilah yang digunakan oleh para kapitalis, terdiri dari ongkos upah (Vj) dan bahan mentah (Cj) yang digunakan untuk mentransformasikan komoditi yang diproduksi menjadi uang penjualan. Sebagai tambahan, mereka juga mesti mengambil untuk pajak tidak langsung T (penjualan, pajak kekayaan dan lisensi), karena dari sudut pandang mereka, hal-hal ini juga termasuk “pengeluaran” bisnis. Apa yang tersisa setelah semua pengurangan ini disebut pendapatan perusahaan bersih[*] (TT). Apabila pengeluaran penjualan Cj + Vj = $15.000 + $10.000, dan pajak tidak langsung T = $5.000, maka pendapatan perusahaan bersih TT = $10.000.
Dari sudut pandang kelas kapitalis, pengeluaran penjualan dan pajak tidak langsung benar-benar merupakan pengeluaran bisnis. Bahkan dari sudut pandang keseluruhan sistem, mereka bisa dianggap sebagai pengeluaran yang pada hakekatnya wajib, karena baik kapital dagang (grosir/pengecer) dan negara memainkan fungsi yang sangat diperlukan. Tetapi kenyataan bahwa mereka merupakan pengeluaran yang sangat dibutuhkan tidak merubah fakta bahwa mereka juga merupakan bentuk turunan dari nilai surplus. Sebelum produk surplus dijual, ia harus diproduksi terlebih dahulu; menjualnya hanya merubah nama pemilik produk itu, tidak merubah jumlahnya. Tingkat di mana sebagian produk surplus itu diserap oleh aktivitas yang merubah-nama pemilik (pembelian dan penjualan) dan aktivitas negara[**] hanyalah indeks dari ongkos legitimasi dan distribusi dalam sistem ini.
Sialnya, para teoritisi tekanan atas keuntungan gagal memahami hal yang sangat penting ini.[***] Tanpa kecuali, mereka mengidentifikasi tingkat nilai surplus dengan TT/W, rasio pendapatan perusahaan bersih dengan semua upah. Dalam kaitannya dengan ilustrasi di atas, TT = $10.000 dan W = upah pekerja produksi + upah dan gaji orang-orang penjualan, dll. = $20.000 + $10.000 = $30.000, sehingga TT/W = 10.000/30.000 = 33 1/3%. Ini jauh berbeda dengan tingkat nilai surplus yang sebenarnya, S/V = 200%.
Karena keliru menyamakan TT/W dengan S/V, maka tingkat eksploitasi di suatu periode jadi terlihat jauh lebih kecil daripada yang sesungguhnya, seperti yang diperlihatkan oleh contoh di atas (besaran yang ada cukup dekat dengan yang saya dapatkan melalui analisa yang jauh lebih kompleks dan rinci terhadap ekonomi AS[*]). Yang lebih buruk lagi, sejalan dengan waktu, TT/W memiliki bias menurun dalam kaitannya dengan S/V yang sebenarnya, karena dalam semua ekonomi kapitalis, baik pengeluaran penjualan dan pajak tidak langsung telah meningkat dengan tajam. Ini terutama benar sejak Perang Dunia II. Dengan demikian, adalah keliru menjelaskan turunnya rasio keuntungan-upah TT/W yang diamati dengan jatuhnya tingkat eksploitasi. Sebaliknya, kenaikan tingkat eksploitasi, yang disertai oleh jatuhnya tingkat keuntungan a la Marx, bisa menghasilkan penurunan tingkat akumulasi dan peningkatan jumlah pengangguran. Dalam keadaan ini, meningkatnya persaingan antar-kapitalis dan intervensi negara tampak sebagai reaksi terhadap krisis yang semakin dalam, dan bukan penyebabnya. Secara empiris, reaksi ini mewujudkan dirinya dalam peningkatan pajak dan pengeluaran penjualan, yang terlihat sebagai penurunan TT/W sekalipun S/V meningkat. Inilah sebenarnya penjelasan Yaffe terhadap krisis dunia yang sedang terjadi.
Adalah layak untuk diulang bahwa penurunan rasio “keuntungan-upah” TT/W yang diamati tidak dengan sendirinya memberikan penjelasan. Untuk melampaui pengamatan semata, kita memerlukan teori tentang determinan keuntungan agar kita bisa memahami faktor-faktor apa yang bertanggungjawab atas kecenderungan empirisnya. Tetapi kita juga perlu tahu bagaimana kategori empirisnya bersesuaian dengan kategori teoritisnya, karena apabila tidak, kita akan keliru memahami penyebabnya. Inilah persisnya kekeliruan yang dibuat oleh mazhab tekanan atas keuntungan: mereka mendasarkan diri mereka pada teori nilai surplus, tetapi sama sekali gagal memahami perbedaan antara kategori Marxian yang sangat kuat dan kompleks ini dengan kategori “keuntungan” (pendapatan operasi bersih) dari ekonomi borjuis. Oleh sebab itu, mereka keliru menganggap penurunan profitabilitas jangka panjang, dan karenanya, krisis dunia itu sendiri, disebabkan oleh tekanan upah terhadap keuntungan.
Kesimpulan
Sejarah mengajarkan kita bahwa kapitalisme selalu mengalami keretakan secara berkala dalam susunan ekonomi dan sosialnya. Pada saat itu, ketegangan sosial yang melekat dalam sistem ini menonjol dengan sangat kontras. Basa-basi borjuis dari berbagai macam ortodoksi melemah, menjadi sesak napas, dan perjuangan kelas pecah ke permukaan.
Kita sekali lagi mendapatkan pelajaran dari sejarah kapitalis ini. Peningkatan pesat pasca perang yang telah mengantarkan kita melalui gerbang emas abad ke-21 sekarang secara resmi telah mati. Di seluruh dunia kapitalis, terjadi krisis ekonomi dan politik. Persaingan internasional menjadi semakin sengit ketika para kapitalis berjuang untuk hidup; bank-bank mengalami kegagalan, industri-industri raksasa mengalami kegagalan, sistem keuangan internasional itu sendiri berjalan terhuyung-huyung dari satu krisis ke krisis lainnya; pengangguran meningkat sementara harga-harga terus naik dan di mana-mana, perjuangan kelas menajam.
Bagaimana kita memahami krisis kapitalisme yang terakhir ini? Tentu saja kita mesti mempelajari dan menganalisanya secara rinci, tidak hanya di tingkat lokal atau nasional, namun dalam skala dunia. Tetapi hal itu sendiri tidak akan pernah cukup. Pada saat yang sama, kita mesti mengerti bahwa krisis bukanlah sesuatu yang baru dalam kapitalisme. Penampakannya yang berkala dan membinasakan telah dikenali, dianalisa, dan dipahami secara teoritis oleh banyak orang lain bahkan jauh sebelum kita melontarkan pertanyaan ini. Untuk memahami krisis ini, kita perlu memahami pentingnya mengkaji penjelasan para pendahulu kita, sehingga kita bisa mengambil manfaat dari mereka dan meneruskan usaha mereka. Apabila tugas kita adalah untuk mengatasi sistem ini, maka adalah wajib untuk memahaminya. Harga dari pengabaian adalah kegagalan.
Tujuan makalah ini adalah untuk menyajikan dan menganalisa posisi dasar yang pernah muncul dalam sejarah terhadap persoalan krisis kapitalis. Saya telah berusaha seketat mungkin dalam tugas ini, sementara pada saat yang sama, tidak mengasumsikan bahwa para pembaca memiliki latar belakang pengetahuan mengenai topik ini. Untuk itu, saya telah berusaha menyajikan tidak hanya apa yang dikatakan oleh teori jenis tertentu, tetapi juga kenapa ia mengajukan argumen itu, bagaimana argumen itu berkembang dalam sejarah, dan posisi politik apa yang terkait dengannya pada masa yang berbeda.
Daripada meringkas apa yang telah dibahas dalam badan tulisan ini, saya akan memfokuskan diri pada tiga pelajaran yang saya rasa tersirat dalam sejarah teori krisis.
Pelajaran pertama terkait dengan hubungan di antara teori dan politik. Tiap posisi teoritis menyiratkan cara tertentu untuk merubah sistem ini. Dalam hal itu, setiap teori memiliki implikasi politik untuk praktek yang didasarkan pada teori tersebut. Tetapi penting untuk menyadari bahwa tidak ada hubungan simplistis yang dapat dibuat di antara seperangkat konsep teoritis tertentu dengan politik yang bisa diduga bertalian dengannya. Misalnya, ambil contoh teori konsumsi-kurang. Para pendukungnya mencakup si reaksioner Parson Malthus, si sosialis borjuis kecil Simone de Sismondi, si aktivis revolusioner Rosa Luxemburg, dan seluruh mazhab “kapitalisme monopoli” modern yang mendasarkan diri pada karya Paul Sweezy dan Paul Baran. Di sisi lain, lawan-lawannya mencakup semua ragam teori borjuis sejak Ricardo, tetapi juga Marx dan Lenin. Di antara para pendukung teori konsumsi-kurang maupun para kritikusnya, tidak ada posisi politik bersama yang bisa dilihat. Argumen serupa bisa dilontarkan untuk teori krisis yang lain.
Pelajaran penting kedua terkait dengan teori dan “fakta.” Adalah kesalahan yang sangat serius untuk mengasumsikan bahwa “fakta” disajikan terlepas dari kerangka konseptual apapun. Bahkan sebuah kajian singkat terhadap sejarah perhitungan pendapatan nasional dengan cepat menunjukkan bahwa data yang kita temui pada suatu waktu tertentu merupakan representasi kuantitatif dari kategori-kategori teoritis tertentu. Data ini tentu saja didasarkan pada kejadian-kejadian di duna nyata, tetapi cara dengan mana kejadian-kejadian ini dikodifikasi dan dihitung juga tergantung pada teori tentang dunia ini. Pola yang muncul atas dasar kategori Keynesian (yang mendasari perhitungan pendapatan nasional yang sekarang) tidak harus serupa sama sekali dengan yang muncul atas dasar kategori Marxis. Misalnya, dalam pembahasan teori tekanan atas keuntungan, kita lihat betapa pentingnya untuk tidak menyamakan dengan keliru rasio keuntungan-upah (TT/W) dengan tingkat eksploitasi (S/V). Tentu akan merupakan suatu kerugian besar untuk meninggalkan teori yang benar karena ia tidak sesuai dengan “fakta” yang didasarkan pada kategori-kategori yang sama sekali berbeda.
Pelajaran ketiga telah dibahas pada awal bagian ini. Untuk mengulanginya lagi secara singkat, dalam menganalisa krisis tidaklah cukup hanya dengan mengkaji fenomenanya. Adalah sama pentingnya untuk mengkaji penjelasan tentang krisis, baik di masa lalu maupun di masa sekarang. Karena kalau tidak, sangat mungkin kita hanya menemukan kembali apa yang telah ditemukan dan membuat kesalahan serupa yang telah dibuat oleh orang lain di masa lampau. Telah sering dikatakan bahwa mereka yang mengabaikan sejarah dikutuk untuk mengulanginya. Untuk ini mungkin harus ditambahkan bahwa mereka yang mengabaikan teori dikutuk untuk merekonstruksinya.
Artikel ini diterjemahkan oleh Mohamad Zaki Hussein dari Anwar Shaikh, “An Introduction to the History of Crisis Theories,” dalam U.S. Capitalism in Crisis, U.R.P.E., New York, 1978. Diakses tanggal 3 Februari 2009 dari http://homepage.newschool.edu/~AShaikh/crisis_theories.pdf.
Catatan:
[1] Lihat Alchian, A.A. dan Allen, W.R., Exchange and Production Theory in Use (Belmont, Ca.: Wadsworth Publishing Co., 1969), Bab 1-4, untuk pembahasan yang terus-terang mengenai konsepsi neoklasik.
[2] Wesley Clair Mitchell, “Business Cycles,” dalam Readings in Business Cycle Theory, American Economic Association (London: George Allen and Unwin, 1961), hlm. 43; Samuelson, Paul, Economics (New York: McGraw-Hill Book Co., 1976), hlm. 250-251.
[3] Samuelson, op. cit., hlm. 257.
[4] Robert Lekachman, A History of Economic Ideas (McGraw-Hill Book Company, 1976), hlm. 343.
[5] Joan Robinson, Economic Heresies (New York: Basic Books, Inc., 1971), hlm. x.
[6] Robert Lekachman, op. cit., hlm. 347-348. Ini benar-benar merupakan perspektif Keynes sendiri, dan perspektif ini terus terlihat di para pengikutnya.
[*] Produk bersih adalah bagian dari total produk yang berada di atas yang diperlukan untuk memelihara sistem produktif ini. Apabila kita mengurangi konsumsi pekerja darinya, maka kita dapati bagian dari total produk yang berada di atas kebutuhan pemeliharaan sistem produktif ini dan kebutuhan pekerja yang menjalankannya: ia adalah produk surplus.
[*] Para penganut teori konsumsi-kurang tidak membayangkan perbedaan Keynesian antara tabungan yang direncanakan dengan investasi yang direncanakan. Para kapitalis merencanakan keduanya dan apa yang mereka tabung mereka investasikan, bukan mereka timbun. Seperti yang ditujunkkan oleh Bleaney (op. cit., hlm. 50-51), penimbunan tidak memainkan peran besar dalam teori konsumsi-kurang.
[7] Michael Bleaney, Underconsumption Theories: A History and Critical Analysis (New York: International Publishers, 1976), hlm. 63.
[8] Michael Barrat-Brown, Economics of Imperialism (London: Penguin Books, 1974), hlm. 170.
[9] Bleaney, op. cit., hlm. 153-168.
[10] Ibid., hlm. 180.
[11] Ibid., hlm. 171.
[12] Hobson dikutip dalam Bleaney, op. cit., hlm. 166.
[13] Untuk pembahasan tentang apa itu harga “normal” dan bagaimana ia ditentukan dalam teori Marx, lihat artikel saya, “Marx’s Theory of Value and the Transformation Problem,” dalam The Subtle Economy of Capitalism, ed. Jesse Schwartz, (Santa Monica, Cal.: Goodyear Publishing Co., Inc., 1977), hlm. 106-137.
[14] Karl Marx, Grundrisse, (London: Penguin Books, 1973) diterjemahkan dengan kata pengantar oleh Martin Nicolaus, hlm. 56-58.
[15] Russell Jacoby, “The Politics of the Crisis Theory: Towards the Critique of Automatic Marxism II,” Telos, 23, Musim Semi 1975, hlm. 5-11.
[16] Ibid., hlm. 10. Kutipan ini berasal dari Danielson.
[17] Ibid., hlm. 14-16.
[18] Ibid., hlm. 22.
[19] Bleaney, op. cit., hlm. 89.
[20] Ibid., hlm. 193.
[*] Pembaca yang akrab dengan Jilid I Capital bisa mengingat bahwa Marx membedakan dua jenis sirkuit yang melibatkan pembelian dan penjualan: C-M-C dan M-C-M’. Di yang pertama, obyeknya adalah konsumsi, tetapi di yang terakhir, obyeknya adalah perkembangan kapital. Adalah yang terakhir ini yang merupakan sirkuit dominan (pengatur) dari produksi kapitalis. Luxemburg melupakan hal ini.
[21] Paul Sweezy, The Theory of Capitalist Development, (New York: Monthly Review Press, 1942), hlm. 179.
[22] Ibid., hlm. 183.
[23] Paul Baran dan Paul Sweezy, Monopoly Capital (New York: Monthly Review Press, 1968), hlm. 108.
[24] Paul Sweezy, “The Economic Crisis,” Monthly Review, Vol. 26 (10), Maret 1975, hlm. 1-8.
[25] Erik Olin Wright, “Alternative Perspectives in the Marxist Theory of Accumulation and Crisis,” dalam Schwartz, hlm. 215-226.
[26] Bleaney, op. cit., hlm. 225.
[27] Ibid., hlm. 245-248.
[28] Lihat Joseph Steindl, Maturity and Stagnation in American Capitalism, (New York: Monthly Review Press, 1976), hlm. xvii, catatan kaki 7.
[29] Ibid., hlm. xv-xvi.
[30] Karl Marx, Capital (New York: International Publishers, 1967), Vol. III, hlm. 250.
[*] Kebetulan, penting untuk dicatat bahwa ketika para kapitalis mengurangi pengeluaran investasinya sebagai akibat dari profitabilitas yang menurun, maka sebagian produk yang ada tidak akan terjual dan krisis akan tampak disebabkan oleh kurangnya permintaan efektif, oleh “konsumsi-kurang.” Tetapi pada kenyataannya, “konsumsi-kurang” ini hanyalah sebuah reaksi terhadap krisis profitabilitas. Ia adalah sebuah gejala, bukan sebab.
[31] Ibid., hlm. 213.
[*] Pertempuran inilah yang disebut oleh Marx dengan “persaingan kapital.” Tetapi penggunaan kata persaingan tidaklah sama dengan “persaingan sempurna,” yang lawannya adalah “monopoli.” Dalam teori Marx, konsentrasi dan sentralisasi kapital yang semakin kuat menyiratkan “persaingan kapital” yang lebih tajam dan semakin meluas ke berbagai belahan dunia. Apa yang disebut dengan tahap “monopoli” dari kapitalisme tidaklah menggantikan persaingan, tetapi malah membuatnya lebih tajam.
[*] Untuk sebuah analisa yang cemerlang terhadap proses kerja modern, lihat karya Harry Braverman, Labor and Monopoly Capital, Monthly Review Press, New York, 1974.
[32] Karl Marx, Capital (New York: International Publishers, 1967), Vol. III, hlm. 250.
[*] Inilah persisnya yang dinyatakan Marx dalam Jilid I Capital, di bagian pertama dari bab yang berjudul “Hukum Umum Akumulasi Kapitalis” (Bab XXV, Bagian I), ketika ia mencatat bahwa upah riil hanya dapat naik apabila ia “tidak mengganggu kemajuan akumulasi” (hlm. 619).
[**] Untuk pembahasan lebih rinci mengenai posisi ini, dan juga matematikanya (seperti apa yang disebut dengan teorem “pemilihan teknik”) yang digunakan untuk mendukung posisi ini, lihat “Political Economy and Capitalism: Notes on Dobb’s Theory of Crises,” oleh pengarang artikel ini, akan terbit dalam Cambridge Journal of Economics.
[33] Sweezy, op. cit., hlm. 88; Maurice Dobb, Political Economy and Capitalism (London: Routledge & Kegan Paul, Ltd., 1937), hlm. 108-114.
[34] David Yaffe, “Inflation, the Crisis and the Post-War Boom,” Revolutionary Communist, No. 2, 1976, hlm. 85-99.
[35] N. Okishio, “Technical Change and the Rate of Profit,” Kobe University, Vol. 7, 1961, hlm. 85-99.
[36] Marx, op. cit., Vol. III, hlm. 264. Lihat juga contoh riil dari proses in yang diberikan dan dianalisa oleh Marx dalam Grundrisse, op. cit., hlm. 383-385.
[37] Geoff Hodgson, “The Theory of the Falling Rate of Profit,” New Left Review, 84, Maret-April 1974.
[38] Lihat Victor Perlo, “Capital-Output Ratios in Manufacturing,” Quarterly Review of Economics and Business, 8 (3) Musim Gugur, 1966, hlm. 29-42.
[39] Karl Marx, Theories of Surplus Value (New York: International Publishers, 1967), hlm. 439.
[40] Diskusi berikut banyak mengambil dari Jacoby, op. cit., bagian V.
[41] Ibid., hlm. 35.
[42] Ibid., hlm. 37.
[43] Ibid., hlm. 43.
[44] Yaffe, op. cit., hlm. 5-32.
[*] “Tidak ada yang lebih absurd…daripada mencari penjelasan jatuhnya tingkat keuntungan di kenaikan tingkat upah, sekalipun sebagai pengecualian, ini bisa terjadi.” (Marx, Capital, Jilid III, Bab XVI, hlm. 240).
[45] Lihat Andrew Glyn dan Bob Sutcliffe, British Capitalism, Workers and the Profit Squeeze (London: Penguin Books, 1972); Bob Rowthorn, “Mandel’s Late Capitalism,” New Left Review, 98, Juli-Agustus 1976, hlm. 59-83; serta Raford Boddy dan James Crotty, “Class Conflict and Macro-Policy: The Political Business Cycle,” Review of Radical Political Economics, Vol. 7, No. 1, 1975.
[46] William Nordhaus, “The Falling Share of Profits,” Brookings Papers, 1976, No. 1, hlm. 169-208.
[47] Marx, Grundrisse, op. cit., hlm. 755.
[48] Wright, op. cit., hlm. 216.
[*] Saya menggunakan istilah pekerja produksi karena tidaklah mungkin untuk mengembangkan konsep kerja produktif dalam lingkup makalah ini. Begitu pula, saya menggunakan istilah komoditi untuk merujuk pada barang dan jasa yang dijual untuk mendapatkan uang. Perbedaan antara kerja produktif dan tidak produktif tidak diturunkan ke dalam pembedaan yang simplistis antara barang dan jasa.
[*] Pendapatan perusahaan bersih pada gilirannya akan dibagi lagi menjadi pajak pendapatan perusahaan, sewa murni (yang berlawanan dengan depresiasi dan pemeliharaan gedung serta peralatan, yang sebenarnya merupakan bagian dari ongkos produksi atau pengeluaran penjualan), bunga/dividen, dan laba yang ditahan.
[**] Selain dari produksi negara yang sesungguhnya.
[***] Kritik yang penting ini terhadap logika tekanan atas keuntungan juga dilakukan dalam sebuah kritik terhadap Boddy-Crotty (op. cit.) yang muncul dalam The Communist, Vol. 1, No. 2.
[*] Dalam praktek yang sebenarnya, merekonstruksi padanan uang dari S, V, dan W jauh lebih rumit daripada yang ditunjukkan di atas. Pada pokoknya, ia melibatkan transformasi perhitungan pendapatan nasional, yang didasarkan pada kategori Keynesian, menjadi perhitungan Marxian, yang didasarkan pada kategori nilai dari Marx. Ini merupakan tugas yang sulit baik secara teoritis maupun empiris. Meskipun begitu, ia bisa dan sangat penting untuk dilakukan. Atas dasar penghitungan yang cukup rinci (yang tentu saja tidak bisa saya sajikan di sini), saya menemukan bahwa tingkat nilai surplus yang sebenarnya S/Vp meningkat dari tahun 1900-1972, sementara TT/W menurun pada periode yang sama. Meningkatnya “pengeluaran” dan pajak menjadi bagian yang besar dari perbedaan ini.

Tidak ada komentar:

 
Copyright © 2011. kasmari: PENGANTAR SEJARAH TEORI KRSIS . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template modify by Creating Website. Inspired from CBS News