lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita

World News

Kamis, 05 Januari 2012

Pernyataan sikap PPR: Menuju sosialisme dengan pembebasan Nasional

PERNYATAAN SIKAP

PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA



Menuju Sosialisme dengan Pembebasan Nasional !!!

Pemilu 2009 bukan Pemilu Rakyat !!!



Salam rakyat pekerja,

Indonesia akan merayakan kemerdekaannya pada bulan Agustus ini. Sudah 63 tahun Indonesia merayakan kemerdekaannya, namun harapan rakyat untuk menggapai kehidupan yang lebih baik ternyata tidak kunjung dapat dinikmati. Angka kemiskinan semakin meningkat, upah buruh sangat rendah, biaya pendidikan semakin mahal, rakyat semakin sulit untuk mengakses pelayanan publik dan lain-lain. Tentunya bukan kondisi seperti ini yang dibayangkan ketika kemerdekaan dinyatakan oleh proklamator kita 63 tahun yang lalu.

Perjuangan kemerdekaan digelorakan agar rakyat Indonesia terbebas dari penjajahan. Karena penjajahan saat itu hanyalah menyesengsarakan kehidupan rakyat Indonesia dan hanya menguntungkan kaum penjajah. Namun apa bedanya dengan kondisi sekarang? Rakyat Indonesia sat ini masih saja belum mencapai kesejahteraan, dan kemakmuran yang dicita-citakan selama ini hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki kekuatan modal.

Hal ini dikarenakan penguasa di Indonesia sejak Orde Baru sampai saat ini tidak pernah berpihak kepada rakyatnya. Kepentingan yang didahulukan oleh para penguasa hanyalah kepentingan para pemilik modal dan kelompok-kelompoknya. Dampaknya adalah rakyatlah yang kembali menjadi korban penindasan. Inilah penjajahan gaya baru yang kembali menyengsarakan rakyat Indonesia melalui penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh para pemilik modal atau perusahaan multinasional.

Neoliberalisme memainkan peranan yang kuat dalam melakukan penjajahan gaya baru serta mengatur kehidupan rakyat Indonesia sehingga rakyat Indonesia semakin miskin dan sengsara. Seluruh potensi yang dapat mensejahterakan rakyat diperdagangkan untuk kepentingan para pemilik modal. Privatisasi BUMN, pencabutan subsidi dan komersialisasi lembaga pendidikan akan semakin menjauhkan rakyat Indonesia untuk mencapai kesejahteraannya. Maka sudah saatnya bagi rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kembali kebebasannya dengan mengusung PEMBEBASAN NASIONAL.

Pembebasan Nasional artinya rakyat Indonesia harus membebaskan dirinya dari perusahaan multinasional yang selama ini telah membuat kehidupan rakyat Indonesia semakin sengsara dan miskin. Pembebasan Nasional artinya rakyat Indonesia dapat meraih hak-haknya untuk sejahtera. Rakyat Indonesia harus membebaskan dirinya dari kungkungan penjajahan gaya baru tersebut.

Jalan satu-satunya untuk menghancurkan penjajahan gaya tersebut hanyalah SOSIALISME. Sosialisme lah yang dapat memberikan kesejahtaraan bagi rakyat Indonesia. Dengan membangun dan mengontrol industri nasional di bawah kontrol buruh, maka rakyat Indonesia akan sejahtera. Dengan menasionalisasi industri strategis seperti migas di bawah control rakyat, maka rakyat akan sejahtera. Dengan menolak privatisasi perusahaan pelayanan publik maka akses rakyat Indonesia ke pelayanan publik akan terjamin. Dengan biaya pendidikan yang murah, maka rakyat Indonesia akan semakin mudah mengakses pendidikan sehingga tercipta pendidikan yang murah, demokratis dan bervisi kerakyatan. Dengan jaminan akses pelayanan publik maka akan tercipta jaminan kesejahteraan bagi perempuan. Dengan menolak pencabutan subsidi BBM dan menggagalkan kenaikan harga BBM, maka jaminan penghidupan yang layak akan terpenuhi. Dengan memberikan hak atas tanah dan berproduksi kepada petani penggarap, maka kehidupan para petani penggarap akan sejahtera. Semua ini adalah agenda-agenda SOSIALISME yang harus diperjuangkan.

Pencapaian kesejahteraan tersebut hanya bisa dilakukan jika penguasa di Indonesia berpihak kepada rakyat. Namun sudah sejak Orde Baru sampai saat ini, tidak ada satupun penguasa di Indonesia yang mementingkan kepentingan rakyat Indonesia. Mereka hanya mementingkan kepentingan para pemilik modal dan mengorbankan kepentingan rakyat. Maka rakyat Indonesia harus mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Karena hanya jika rakyat pekerja yang berkuasa maka rakyat akan sejahtera. Kekuasaan harus berada di tangan buruh agar ada jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemilu 2009 sama sekali tidak mencerminkan sebuah kekuatan yang dapat mensejahterakan kehidupan rakyat. Dengan masih berkutatnya kekuatan partai politik lama dan munculnya partai politik baru yang mengikuti pemilu 2009 sama sekali tidak menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Maka dari itu, Pemilu 2009 bukanlah pemilu rakyat, namun pemilu yang dibuat oleh kaum bourjuis untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingannya.

Maka dari itu, Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap:

Indonesia harus merdeka dari penjajahan gaya baru yang selama ini telah menyengsarakan memiskinkan rakyat. Jalan satu-satunya agar rakyat Indonesia dapat memerdekakan dirinya adalah dengan mengusung SOSIALISME.
Pemilu 2009 bukanlah pemilu rakyat, karena pemilu 2009 hanyalah alat bagi kaum bourjuis untuk melanggengkan kekuasaan dan kepentingannya.



Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja

Jakarta, 15 Agustus 2008



Sekretaris Jenderal







Irwansyah
Kata kunci: statement
tidak ada komentar

Sosialisme Abad ke 21: Memilah kaum reformis dari kaum revolusioner Aug 7, '08 10:36 AM
untuk semuanya
Ted Sprague*

Semenjak berkobarnya revolusi di Amerika Latin yang dipimpin oleh rakyat Venezuela, ide sosialisme mulai bangkit lagi dari tidurnya. “Sosialisme Abad ke 21” begitu bunyinya, sebuah frase yang dipopulerkan oleh Presiden Chavez sebagai sosialisme yang bebas dari distorsi Stalinisme. Bagi rakyat banyak, Sosialisme abad ke 21 merupakan simbol penolakan terhadap kapitalisme. Ia merupakan suatu hardikan kepada Francis Fukuyama yang mengklaim akhir sejarah dan kemenangan mutlak kapitalisme. Tetapi lebih dari itu, konsep Sosialisme Abad ke 21 sangatlah longgar. Apakah ini adalah sosialisme yang benar-benar baru? Para intelektual kiri dan kanan dan aktivis-aktivis berlomba-lomba menulis buku mengenai sosialisme ini; untuk menuangkan isi yang baru. Tetapi apakah sebenarnya isi baru dari Sosialisme Abad ke 21 ini?

Ada yang mengatakan bahwa Sosialisme Abad ke 21 ini adalah pembenaran untuk jalan parlementer menuju sosialisme; tentu saja ini berarti kita harus menutup mata kita terhadap aksi-aksi massa yang telah berulang kali menyelamatkan revolusi Bolivarian. Ada juga yang mengatakan bahwa Sosialisme Abad ke 21 ini adalah sosialisme ala Amerika Latin yang bernuansakan tradisi penduduk asli Amerika Latin, bahwa sosialisme ini tidak diimpor dari Eropa (baca Marx dan Engels) dan maka dari itu bebas dari kecongkakan orang putih.



Dari semua tafsiran akan apa sosialisme ini, yang paling keras diteriakkan oleh para intelektual adalah bahwa Sosialisme Abad Ke 21 merupakan sebuah sosialisme dimana semua kelas di dalam masyarakat dapat bekerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama: buruh, tani, pedagang kecil, ….DAN para bos-bos besar! Yang dibutuhkan adalah sebuah sistem sosialisme yang berdampingan dengan sistem kapitalisme. Sedikit demi sedikit kapitalisme direformasi hingga kita mencapai tahapan sosialisme (kasarnya, mulai 90% kapitalisme, 10% sosialisme; lalu 80% kapitalisme 20% sosialisme, dan seterusnya hingga kita mencapai 100% sosialisme). Dibungkus dengan jargon-jargon baru dan radikal, para intelektual ini, yang diwakili oleh Heinz Dieterich[1], bersorak sorai: “Kita telah menemukan sebuah formulasi sosialisme yang baru. Ide-ide Marx dan Engels dari abad 19 sudah usang dan tidak cocok dengan abad sekarang, mari kita campakkan mereka dan bersama-sama menuju ke era yang baru: Sosialisme Abad ke 21!”.



Sosialisme yang baru?



Tetapi, apakah formulasi mereka ini merupakan sesuatu yang baru? Bila kita teliti lebih seksama, ternyata ide sosialisme abad ke 21 tersebut hanyalah ide-ide tua yang sudah berulang kali dijawab dan dihancurkan oleh Marx dan Engels. Engels di dalam bukunya Anti-Duhring (1878) menghancurkan ide Herr Eugen Dühring yang mengklaim bahwa dia telah menemukan satu filosofi yang baru, satu sistem sosialisme yang baru. Kemudian, Rosa Luxemburg di dalam karya monumentalnya Reform or Revolution (1908) kembali harus menjawab Eduard Bernstein yang mengklaim bahwa abad ke 20 telah membuka jalan bagi sosialisme yang baru (baca Sosialisme Abad ke 20), yang dapat diraih dengan jalan reformasi semata.



100 tahun kemudian, dengan judul yang mirip, Alan Woods[2] menerbitkan buku (Reformism or Revolution: Marxism and Socialism of 21st Century, a reply to Heinz Dieterich[3]) untuk menjawab Heinz Dieterich yang mengklaim telah menemukan konsep sosialisme yang baru, sosialisme abad ke 21. Kutipan dari buku Alan:



“Mengenai ide sosialisme abad ke 21 yang ‘baru dan orisinil’ ini, saya hanya akan mengatakan ini: bahwa sampai hari ini, saya belum menemukan satu ide baru pun dari kumpulan tulisan-tulisan Dieterich dan kawan-kawannya. Yang saya temui adalah ide-ide tua dan antik yang telah diangkat dari tong sampah sejarah, yakni ide-ide yang tidak ilmiah dan utopis yang sudah dijawab oleh Marx, Engels, dan Lenin. Ini adalah ide-ide yang seharusnya ditinggalkan di zaman pra-sejarah gerakan buruh. Ide-ide sosialisme utopis ini dibersihkan dari debu-debunya dan disajikan sebagai Sosialisme Abad ke 21. Dan ada orang-orang naif yang menanggapinya dengan serius”



Heinz Dieterich tampil di arena internasional sebagai kawan Revolusi Bolivarian yang memberikan nasihat kepada aktivis-aktivis Venezuela yang jujur. Dan inilah mengapa Alan merasa perlu untuk menulis satu buku (yang sangat tebal, 400 halaman tebalnya) untuk menjawab satu per satu ‘nasehat-nasehat’ Heinz Dieterich dan mengeksposnya. Artikel ini terlalu pendek untuk bisa menguraikan satu-per-satu poin-poin Heinz Dieterich dan konternya dari Alan Woods. Akan tetapi secara garis besar, Heinz menentang nasionalisasi aset-aset kelas kapitalis dan menyerukan sosialisme utopis, yakni sistem kapitalisme yang eksis bersama-sama dengan sistem sosialisme, dimana perlahan-lahan sosialisme akan menggantikan kapitalisme.



Perjuangan Ideologi: Bagian penting dari perjuangan kelas



Banyak sekali aktivis kiri yang tidak pernah mendengar Heinz, apalagi membaca tulisan-tulisannya. Dan ini mengundang satu pertanyaan: Mengapa kita harus repot-repot menanggapi ide-ide Heinz? Saya rasa pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya. Ide-ide Heinz-lah yang harus dijawab, yakni ide-ide reformis yang kerap bersembunyi di dalam jargon-jargon sosialisme abad ke 21, ide-ide tua yang diberi bungkusan baru untuk membingungkan kaum muda dan pekerja.



Di dalam perjuangan kelas, pengorganisiran dan mobilisasi massa bukanlah satu-satunya lahan perjuangan yang harus digarap. Satu lagi arena perjuangan yang penting adalah perjuangan ideologi. Kelas kapitalis, dengan medianya, sekolahnya, intelektual-intelektual bayaran mereka, telah menciptakan suatu kabut ideologi yang sangat tebal untuk membingungkan kelas pekerja. Ideologi kapitalisme biasanya mudah dihancurkan bila rakyat pekerja sudah mulai bergerak. Tetapi ideologi yang paling berbahaya adalah reformisme yang berjubah sosialisme, layaknya serigala berbulu domba. Dengan lantangnya kaum reformis mengutuk kapitalisme dengan jargon-jargon sosialisme. Akan tetapi pada saat-saat yang menentukan, reformismelah yang kerap menyelamatkan kapitalisme dari kehancuran mutlaknya.



Buku Alan Woods yang terbaru ini bukan diterbitkan untuk dibaca oleh kaum intelektual dan disimpan di rak buku mereka. Justru sebaliknya, buku ini ditujukan kepada rakyat pekerja, terutama di Venezuela, sebagai senjata untuk melawan ide-ide reformisme. Semenjak penerbitannya (dalam bahasa Spanyol, lalu kemudian dalam bahasa Inggris), Alan Woods telah melakukan tur buku (http://www.marxist.com/alan-woods-speaking-tour-in-venezuela/) di 9 negara bagian Venezuela, dimana ribuan buruh, mahasiswa, kaum miskin kota, dan petani dengan antusias menghadiri tur buku tersebut. Yang patut disebut adalah pertemuannya dengan ribuan buruh minyak PDVSA di San Tome, Managos, Morical; 600 delegasi buruh pabrik mobil dari seluruh Venezuela; ratusan buruh Venalum (pabrik Aluminum negara); ratusan buruh dari SIDOR (pabrik besi baja yang baru saja dinasionalisasi); dan pemimpin-pemimpin nasional PSUV (Partai Persatuan Sosialis Venezuela). PDVSA (Perusahaan Minyak Negara Venezuela) lalu memutuskan untuk memesan 10 ribu kopi buku tersebut untuk dibagi-bagikan kepada pekerjanya.



Saking popularnya tur buku ini, Alan Woods diundang untuk hadir di acara TV nasional Venezuela (Venezolana de Televisión) untuk berbicara mengenai buku terbarunya. Esok harinya, Presiden Chavez yang mendengar mengenai Alan Woods dan tur bukunya dari acara televisi tersebut langsung mengundang Alan untuk bertemu. Sebulan kemudian, Chavez di dalam acara Alo Presidente (episode 315, 27 Juli) mengutip buku tersebut; dia mengatakan kalau dia sedang membaca buku ini dengan sangat teliti. Ini berita yang harus disambut dengan gembira, terutama kalau kita melihat belakangan ini Chavez yang dikelilingi oleh birokrat-birokrat reformis (Chavista kanan) mulai mengambil jalan reformisme. Kita hanya bisa berharap kalau Chavez bisa mengambil pelajaran revolusioner dari buku Alan.


Akan tetapi, pemeran utama dari Revolusi Bolivarian tetap adalah rakyat Venezuela: kaum buruh, petani, miskin kota, dan kaum muda. Untuk merekalah buku tersebut ditujukan, supaya rakyat pekerja Venezuela dapat memilah reformisme dari sosialisme. 10 tahun sudah revolusi ini berjalan, dan hanya keberanian rakyat pekerja Venezuela yang memberikan nafas panjang bagi proses revolusi ini. Di setiap tikungan, bukan hanya kaum oligarki Venezuela yang harus dihadapi oleh rakyat pekerja Venezuela, tetapi juga para ‘kawan’ revolusi yang menawarkan nasehat sosialisme abad ke 21 mereka.



Ide-ide sosialisme ilmiah sudahlah diformulasikan oleh Marx dan Engels, dan mereka masihlah relevan, apalagi dalam periode sekarang ini. Sejarah sudah membuktikan kebenaran ide-ide mereka. Kita tidak perlu ide yang baru (atau yang mengaku baru) bila yang lama masih benar adanya. Yah, tentu saja detil-detil ide Marxisme akan berbeda di situasi yang berbeda, tetapi ide umumnya masih sama: sosialisme hanya bisa dicapai dengan menghancurkan relasi produksi kapitalisme, yakni menyita hak milik alat produksi, dan menghancurkan negara kapitalis dan bangun negara buruh yang baru.



Maju Menuju Sosialisme Yang Sejati!





[1] Heinz Dieterich (1943 - ) adalah seorang ahli sosiologi dan analisa politik kelahiran Jerman yang sekarang tinggal di Meksiko. Dia banyak menulis mengenai konflik di Amerika Latin.



[2] Alan Woods (1944 - ) adalah seorang aktivis politik dari Inggris, salah satu pemimpin dari International Marxist Tendency. Pada tahun 1970, Alan aktif di Spanyol dalam melawan kediktaturan Franco. Dia sudah menulis banyak buku menge, salah satunya adalah Reason in Revolt (http://www.marxist.com/reason-in-revolt-bahasa-indonesia.htm) yang sudah diterbitkan di Indonesia.


[3] Penerbit Wellred sudah ada rencana untuk menerjemahkan buku Alan Woods ke dalam Bahasa Indonesia dan menerbitkannya.

*Penulis adalah aktivis Hands Of Venezuela (HOV)
Kata kunci: analisa umum, internasional, sosialisme
tidak ada komentar

Perang Bintang dan Gerilya Politik Aug 7, '08 10:33 AM
untuk semuanya
M. Kholik*

Ritualitas politik elektoral 2009 tinggal menghitung bulan untuk pelaksanaannya. Dengan peserta pemilu yang telah disahkan KPU pada 7 Juli 2008 berjumlah 34 parpol. Genderang perang ngecap dimulai, pemain sulap dadakan berhamburan menjadi hiburan di tengah sedih duka dan rintih rakyat dalam menghadapi ekonomi yang maha sulit. Karung-karung disiapkan untuk mewadahi “kucing dan tikus” untuk dijadikan barang dagangan. Lalu apa yang didapat oleh rakyat?

Sebagian kecil rakyat yang bergerak di bidang konveksi atau garment dan sablon, akan mendapatkan kenikmatan sesaat dari limpahan order partai politk. Ini dalam ukuran sangat kecil sekali dari ratusan juta rakyat Indonesia, pun dengan penuh persaingan dan degup jantung yang keras menunggu janji pembayaran secara penuh ditepati. Mungkin hanya ini yang didapat oleh sebagian kecil rakyat dari pesta demokrasi negeri ini dari kerja nyata, selebihnya hanyalah janji-janji politik yang membumbungkan mimpi tanpa kenyataan dari partai politik yang didapat oleh rakyat.

Partai lama masih berkuasa

Peta partai politik yang bertarung dalam perebutan kekuasaan lewat jalur pemilu semakin semrawut dan sangat membingungkan rakyat. Maka tidak heran bila jumlah golput semakin membesar dengan angka rata-rata 45% di setiap pilkada. Bahwa itu hanya bagian kecil dari alasan rakyat untuk golput, karena cukup banyak argumentasi mengapa memilih golput. Bahkan saat sekarang di Bandung sedang digalang pendataan pemilih golput, suatu usaha untuk memberikan tekanan kepada para politisi dan rezim penguasa bahwa mereka tidak legitimate. Legitimasi penguasa hanya pada ranah undang-undang yang dibuat oleh perwakilan parpol lama yang berkuasa di DPR. Sementara mayoritas golput lainnya memberikan argumentasi lebih dalam bahwa Paket UU Pemilu tidak memberikan ruang kepada rakyat dan kaum perempuan untuk bisa maju menjadi kontestan, bukan sekedar pemilih saja dan UU pemilu hanya memberikan kelanggengan kepada parpol lama.

Pemilu hanyalah salah satu ukuran adanya demokrasi dalam sebuah negara. Pemilu Indonesia yang mengadopsi pemilu liberal, maka mengabaikan adanya tingkat partisipasi politik rakyat. Sehingga pemilu hanyalah mengantarkan partai dan elit politik pada tampuk kekuasaan bukan sebagai pemimpin negara yang membawa rakyat keluar dari segala kesulitan. Maka tak heran bila tingkat partisipasi paling besar rakyat dalam pemilu ada di negara-negara komunis atau sosialis.

Dalam pesta elektoral 2009, ada dua medan pertarungan yang akan ramai diperebutkan parpol, yakni pemilu parlemen serta pilpres dan satu medan pertarungan untuk jalur non partai, yakni DPD. Jalur DPD boleh dibilang hanyalah penggembira, karena kekuatan politiknya kecil. Pada jalur parlemen, pertarungan antar parpol akan sangat sengit.

Menurut prediksi beberapa lembaga survey menyatakan bahwa pemenang pemilu parlemen 2009 masih akan dikuasai oleh tujuh parpol pemenang pemilu 2004. Yakni Golkar, PDIP, PPP, PKB, PKS, PAN dan Partai Demokrat. Parpol lainnya kemungkinan akan menyodok tujuh besar masih dimungkinkan dengan menurunnya citra PD sebagai pendukung setia rezim SBY-JK. Parpol baru yang diprediksi mampu merangsek ke papan atas tersebut adalah Partai Hanura.

Prediksi lembaga survey dengan berbagai tendensinya, tentu terkandung beberapa kebenaran. Pun, para Pemilih parpol yang masih setia memberikan suaranya pada pemilu memiliki alasan-alasan tertentu dengan berbagai sebab. Budaya pemfiguran, simbol-simbol perjuangan dan budaya amplop. Di antara deretan alasan pemilih, tidak lepas pula alasan paling mendasar yakni ikatan ideologis basis partai, seperti basis nasionalisnya PDIP, basis Islamnya PKS, PKB.

Medan tempur pemilu sangatlah panas, selain elit politik gaek berpengalaman muncul juga politisi muda yang mengorbit lewat jalur gerakan rakyat dan direkrut parpol. Pemilu ini sekaligus ajang penilaian proses konsistensi para aktivis gerakan untuk pada jalur pembangunan gerakan massa yang progresif dan mengarahkan pada perubahan sistematis. Yang ironi dalam keterlibatan aktivis muda dalam pertarungan pemilu 2009 adalah tidak lagi melihat garis ideologi parpol. Karena secara terang-terangan semua parpol masih mengusung sistem ekonomi kapitalis dan tunduk pada kebijakan neoliberalisme yang mengagungkan pada pasar bebas.

Dilihat dari fenomena tersebut, bisa jadi benar apa yang diprediksi oleh lembaga survey independen. Bahwa kekuatan parpol lama akan eksis berkuasa di parlemen, selain karena didukung oleh UU pemilu. Juga pada taktik rekrutmen figur aktivis gerakan rakyat baik dari ormas maupun LSM serta artis yang sudah dikenal publik luas dilakukan oleh Partai Golkar, PDIP dan Hanura.

Perang bintang pada pilpres dan gerilya politik

Lain hal di pemilihan presiden, tokoh lama masih akan mendominasi pertarungan. Dari sejumlah tokoh ini yang menarik adalah pertarungan para jenderal, di antaranya Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, M Yasin dan SBY. Maka pilpres 2009 layak disebut “Perang Bintang.” Tokoh-tokoh sipil masih juga dengan muka-muka lama, di antaranya Megawati, Hamengkubuwono, Jusuf Kalla, Gus Dur dan Amin Rais. Hampir tidak ada tokoh baru dan muda yang muncul, apalagi tokoh yang selama ini dari gerakan rakyat.

Seperti biasa, ketika “arena lelang” telah dibuka, maka diiringi oleh promosi dan gerilya. Promosi terbuka sudah dilakukan dengan memamerkan barang dagangannya di spanduk, baliho, televisi. Sebuah upaya mendongkrak popularitas dari dunia “rayu-merayu” dengan mengeluarkan milliaran rupiah tanpa sebuah kerja nyata di tengah-tengah masyarakat. Setiap menit rakyat disuguhi tontonan, suara, tulisan yang berisi janji-janji belaka tanpa solusi konkrit. Sementara promosi dilakukan, juga dijalankan upaya gerilya serius kepada masyarakat.

Seperti yang kita dapatkan di beberapa daerah, PDIP menjual program buat petani dengan menyebar bibit padi unggul dengan gratis yang diberi nama “Mega 1 dan 2.” Bukan rahasia kalau Partai Hanura menggelontorkan jutaan rupiah di tengah masyarakat yang membuat kegiatan olahraga, seni dan keagamaan. Gerindra sebagai kendaraan Prabowo gencar memberikan bantuan ke petani dan nelayan. Pun, PKS dengan dalih pengajian dan bakti sosial membagikan sembako serta melakukan pemutaran film. Masih banyak gerilya politik yang terus menggerus kesadaran rakyat untuk kritis. Gerilya ini memang sedikit memberikan senyum rakyat miskin yang tengah dilanda kesulitan ekonomi.

Kita masih belum ada pilihan dalam kancah elektoral 2009, tetapi tidak untuk diam. Pilihan yang disediakan hanyalah karung-karung bekas berisi kucing-kucing garong. Maka satu satunya pilihan adalah dengan golput, tetapi golput ini harus memiliki bobot tawar yang tinggi. Jangan sampai seperti dalam pilkada golput tidak diperhitungkan karena tidak terorganisir dengan baik dan lebih beralasan teknis. Golput yang punya daya tawar adalah golput yang terorganisir dan memiliki alasan argumen yang jelas atas penolakan ikut pemilu s erta dikampanyekan dengan luas. Upaya mendata pemilih golput adalah awal kerja untuk membangun golput terorganisir.
Catatannya adalah golput yang terorganisir ini harus jadi basis kekuatan politik jangka panjang dan tidak berhenti setelah pemilu 2009. Dia harus dijadilam kekuatan yang solid menjawab problem politik negeri ini pada situasi-situasi yang mengharuskannya.

*Penulis adalah mahasiswa USB YPKP Bandung dan anggota PRP Komite Kota Bandung
Kata kunci: analisa umum, pemilu
tidak ada komentar

Iklan Politik, Pembodohan kepada rakyat! Aug 7, '08 10:30 AM
untuk semuanya
Abdul Rojak*

Hari-hari ke depan, selama 9 bulan nanti, bisa jadi menjadi hari-hari obral janji bagi politikus Indonesia karena selama 9 bulan itu, sejak 12 Juli 2008 sampai dengan 5 April 2009 akan disuguhkan di hadapan rakyat masa panjang kampanye menuju Pemilu 2009. Sebuah paradoks yang sangat kentara ketika dihadapkan pada kondisi Rakyat Indonesia yang sangat miskin, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sangat minimal seperti makan dengan ketersediaan kalori cukup.

Selama 9 bulan itu, semua ruangan, sepanjang jalan, sejauh mata memandang dan ke arah manapun kaki kita melangkah bahkan ketika kita berangkat tidurpun seakan tiada ruang kosong bagi iklan politik, kampanye janji-janji politikus yang berjanji mensejahterakan rakyatnya. Pemandangan ini, secara langsung atau tidak langsung pasti akan menghegemoni kesadaran rakyat tentang pemilu 2009 sebagai pemilu yang oleh rezim, operator politik, pimpinan parpol, calon-calon legislatif dan calon presiden wajah baru apalagi wajah lama untuk mencekokkan bahwa pemilu adalah “pintu ajaib” menuju Indonesia baru. Dengan melampauinya, maka otomatis kita akan sampai pada kondisi Indonesia yang baru, Indonesia tanpa kemiskinan dan Indonesia yang gemah ripah. Sementara perdebatan di luar pagar, kedai-kedai kopi, angkutan kota yang macet, tukang ojek dan segenap rakyat yang lain masih berkisar pada keraguan benarkah pemilu 2009 akan memberikan solusi ? Seiring dengan itu, pilihan untuk tidak terlibat dalam pemilu 2009 dengan golput misalnya menjadi wacana yang menarik. Tulisan ini, dimaksudkan untuk mencoba mengutak-atik tentang iklan politik dengan sebuah pertanyaan awal kenapa politikus begitu tergoda untuk membelanjakan uang berlimpah (yang tidak jelas darimana asal usulnya) untuk iklan politik.

Iklan politik dan perputaran uang

Perputaran uang yang terjadi dalam bisnis iklan politik sangat menggiurkan. Misalnya saja seperti diungkapkan oleh Rizal Mallarangeng, pendiri Jasa Konsultan Strategi dan Politik Fox Indonesia, “Biaya untuk menjangkau kesadaran publik melalui media berkisar antara Rp 1–5 per kapita. Jika menggunakan pawai dan acara-acara sejenisnya biaya membengkak menjadi Rp 1.000 – tak terhingga per kapita.” Senada dengan Rizal Subiakto, CEO Hotline Advertising yang mengakui bahwa ketika menangani kampanye SBY-JK dia menghabiskan dana sekitar Rp 30 miliar, sementara ketika kampanye pasangan cagub DKI Fauzi Bowo menghabiskan dana sekitar Rp 20 M dengan margin keuntungan bersih masuk kantong sekitar 20-30 %. Fenomena itu masih akan berlanjut tahun 2008-2009 ini. Sebagai perbandingan betapa besarnya biaya iklan politik itu, Subiakto menjelaskan bahwa belanja Iklan Indonesia tahun 2007 adalah sekitar 40 triliun rupiah dan sekitar 10 triliun adalah belanja iklan politik, tahun 2008/ 2009 akan meningkat 3 – 4 kali lipat lebih besar. Coba hitung sendiri berapa total biayanya?

Sementara Irfan Wachid, 25frame Indonesia Production mengatakan seorang politikus nasional menghabiskan Rp 5-10 miliar/bulan untuk biaya poles diri, poles senyum mematut penampilan di hadapan rakyat pemilihnya, sementara di daerah bisa menghabiskan Rp 1-5 miliar per bulan. Iklan-iklan seperti Soetrisno Bachir yang gencar misalnya menghabiskan dana Rp 2 miliar. Bahkan kenyataan untuk Soetrisno Bachir bisa jadi melebihi jumlah itu kalau kita bandingan dengan kenyataan yang sebenarnya seperti yang banyak beredar di kalangan milis politik bahwa iklan-ilkan, poster dan gambar Soetrisno ada juga di hutan-hutan sepanjang perjalanan Jakarta ke Jawa Timur. Fantastis.

Kemudian bandingkan fenomena di atas dengan kemungkinan yang akan terjadi di waktu mendatang. Fenomena pemilu di Indonesia menjadi ladang yang me! nggiurkan bagi bisnis iklan politik dengan asumsi hitungan minimalnya adalah di Indonesia ada 440 kabupaten dan 33 propinsi, artinya dalam waktu 5 tahun akan ada 473 pilkada, belum lagi bila ditambah dengan pemilu legislatif nasional dan lokal. Artinya dalam setahun akan ada sekitar 100 kali pilkada. Kalau setiap pilkada diikuti 3 pasangan calon maka akan ada 300 pasangan calon. Dan seandainya setiap calon menghabiskan Rp 1 miliar untuk biaya iklan politik, maka dalam setahun akan ada uang sekitar Rp 300 miliar yang dihabiskan untuk iklan politik, ini adalah jumlah minimal karena pada kenyataannya setiap pasangan calon pasti menghabiskan dana di atas Rp 1 miliar. Lalu bagaimana dengan iklan politik bagi parpol baru peserta pemilu 2009 yang berjumlah 34 partai? Dengan hitungan minimal bahwa 15-20 parpol yang membutuhkan sosialiasi untuk pemilu 2009, coba hitung berapa uang yang berhamburan? Sekali lagi : Fantastis!

Lalu, kenapa iklan politik menjadi sangat diminati bagi politikus? Data survey seperti dilansir Kompas edisi Miggu 20 Juli 2008 ini bisa jadi acuan bahwa model iklan dengan pemasangan bendera tingkat efektivitasnya adalah 44,7 %, spanduk: 44,8 %, TV: 71,7 %, aksi pengerahan massa: 71,2 % dan pawai atau karnawal: 70,9 %. Maka, para politikus akan berebutan kesempatan untuk memanfaatkan slot iklan itu semaksimal mungkin.

Data di atas dan kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang tidak bertentangan. Artinya bahwa pengakuan para praktisi periklanan itu memang benar adanya. Arti lebih kongkrit lagi adalah bahwa para politikus itu, akan melakukan upaya apapun sebagai usaha untuk mempopulerkan dirinya di hadapan rakyat bahwa dia adalah pilihan tepat bagi penyelesaian karut-marut politik tanah air, bahwa dirinya adalah sosok ideal bagi keluarnya bangsa ini dari kekacauan dan krisis.

Iklan politik, jujurkah?

Pertanyaan ini yang kemudian muncul ketika kita tahu betapa besarnya uang yang berputar dalam lingkaran bisnis itu. Tetapi yang juga menjadi pertanyaan penting bagi kita dan sebagian besar rakyat Indonesia saat ini, benarkah mereka akan menjadi “ratu adil” yang muncul ke permukaan menyelesaikan problematika rakyat ? Sebuah pertanyaan yang sepertinya tidak akan kita temukan jawabannya karena pada dasarnya iklan-iklan politik sifatnya tetap sebagai iklan, tujuan utama memasarkan produknya saja, dengan target meningkatnya pencitraan yang ujung-ujungnya penjualan (calon legislatif, calon presiden) meningkat. Perkara kualitas barang/produk bisa dipertanggungjawabkan atau tidak adalah urutan ke sekian, atau bahkan tidak ada sama sekali dalam daftar. Kalau ini yang terjadi, maka sebenarnya yang sedang berlangsung adalah upaya-upaya iklan politik itu hanya pembodohan bagi rakyat dengan biaya yang juga berasal dari rakyat. Kenapa demikian? Karena biaya (uang) yang dikeluarkan untuk iklan-iklan politik itu pastilah hasil “rampasan” dari rakyat juga dengan berbagai modusnya dari yang paling halus sampai yang paling kasar sekalipun.

Direktur Eksekutif Reform Institue Yudi Latief menegaskan bahwa pesan-pesan iklan politik kebanyakan dangkal, serba artifisial, dan tidak otentik serta tidak nyambung dengan kebutuhan batin rakyat. Kemudian pendapat yang hampir sama diungkapkan oleh Ketua Badan pengurus Pusat Oi (Orang Indonesia, organisasi Fans Clubnya Iwan Fals) meragukan apakah dalam kehidupan sehari-hari para politikus itu seideal yang dibicarakan media-media? Kalau tidak, maka sebenarnya bagi mereka bisa menjadi bumerang.

Bahkan sebenarnya yang terjadi kemudian adalah hukum pasar, saling klaim, saling menjelekkan kompetitor dan saling berpropaganda keunggulan dirinya dibanding yang lain. Inilah wajah kapitalisasi politik itu sebenarnya, keuntungan bagi segelintir orang dengan mengorbankan kepentingan publik yang lebih besar. Bahkan dalam kenyataannya, iklan-iklan politik itu juga tidak mengindahkan etika. Sebagai contoh saling serang antar calon presiden dengan pembunuhan karakter, padahal dalam masa-masa orde baru mereka sama-sama duduk dalam satu kabinet yang terbukti menindas rakyat.

Fenomena saling mengunggulkan dirinya dan membunuh karakter kompetitor dengan target “penjualan produk” dan keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa memberikan data, fakta, pendidikan yang jujur bagi rakyat adalah keniscayaan yang selalu akan digulirkan sebagai watak dasar kapitalisme, maka apa sebenarnya yang bisa kita harapkan dari “politikus yang mengklaim dirinya calon pemimpin kita itu” kelak ketika mereka benar-benar berkuasa? Sama saja, mereka akan menjadi antek-antek kapitalis melanjutkan penindasan dan penghisapan sebagaimana dipertontonkan rezim pendahulunya.

Apa sikap kita?

Hidup dalam pertarungan rimba tanpa hukum dengan aturan main siapa kuat dia yang menang, siapa punya duit, dia raja tentu sangat menyesakkan bagi kita sebagai rakyat tertindas. Tetapi, tetap saja kita harus tetap bergerak melakukan upaya cerdas menyadarkan rakyat bahwa kondisi ini harus segera diakhiri. Upaya-upaya maksimalis dalam kondisi serba minimalis ini harus tetap digulirkan dengan tak lelah merangkul kekuatan rakyat yang lain, mengajak duduk bersama dan berpikir merumuskan langkah ke depan belajar dari kesalahan praktek di lapangan untuk dijadikan sebagai teori pemandu yang baru tentu akan menjadi upaya yang bisa kita lakukan.

Ini adalah upaya yang tidak ringan, tetapi harus kita lakukan dengan sebuah keyakinan bahwa kesatuan rakyat tertindas yang terdidik terpimpin dan terorganisir akan mampu membuat perubahan. Sekali lagi ini memang langkah berat tapi harus kita lakukan karena mesin politik pembodohan tetap berjalan. Ketidakmautahuan mereka mendengar jeritan penderitaan rakyat akan terus berlanjut. Maka kalau kita tidak melakukan upaya, sudah dipastikan kitalah yang akan tergilas.

Dan fenomena pemilu 2009, dengan segala iklan politik yang sudah kita bahas di atas, sepertinya tidak boleh kita biarkan. Kabarkan kepada rakyat bahwa proses pendahuluan pesta demokrasi saja sudah sangat merugikan rakyat, apalagi ketika konstelasi politik sudah semakin padat menjelang pilpres nanti? Hitungan sederhana perputaran uang melalui iklan politik itu, sepertinya akan menjadi berita yang membuat rakyat marah (baca: sadar) kalau bisa kita kemas dengan bahasa yang mudah dipahami.

Coba simak pendapat Ketua Badan Pengurus Pusat Oi berikut ketika menanggapi janji kosong iklan politik itu, “Kami meragukan apakah dalam kehidupan sehari-hari para politikus itu seideal yang dibicarakan media-media? Kalau tidak, maka sebenarnya bagi mereka! bisa menjadi bumerang. Karena itu Oi tidak mengidamkan sosok yang muluk-muluk. Yang terpenting para pemimpin itu mampu memenuhi kebutuhan rakyat, bukan pelanggar HAM dan tidak suka berbohong.” Syarat tidak berbohong? Wah, ini yang susah......
Jadi? Iklan politik dengan biaya tinggi dan sumber uang yang tidak jelas itu ? Ah, itu hanya pembodohan rakyat saja..................

*Penulis adalah buruh PT Plasindo dan anggota PRP Komite Kota Karawang
Kata kunci: analisa umum, pemilu
tidak ada komentar

Melihat praktek nyata sistem kerja kontrak-outsourcing di kawasan industri Jul 25, '08 6:22 AM
untuk semuanya
Bejo*

Sekilas kerja kontrak-outsourcing dalam praktek
Tidak dipungkiri sistem kerja kontrak (PKWT-Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan outsourcing (pemberian pekerjaan ke pihak lain/perusahaan-sub kontrak) sudah semakin marak, bahkan sudah mendominasi sistem kerja dalam industri/perusahaan saat ini, beberapa data menunjukkan angka 60-70% jumlah pekerja adalah pekerja kontrak. Banyak tulisan intelektual mendukung kebijakan sistem kerja kontrak-outsourcing atau sering disebut pasar tenaga kerja yang fleksibel, dengan berbagai dalih tanpa melihat akibat yang dialami oleh kaum buruh dan rakyat secara umum. Argumentasi para intelektual pendukung rezim penguasa dan pengusaha ini adalah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya dengan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, karena akan mengurangi pengangguran dengan pergantian waktu kerja.

Argumentasi para intelektual tersebut tenyata tidak terbukti, pengangguran tidak terserap oleh industri, bahkan juga tidak ada perkembangan pertumbuhan industri dalam dekade 2 tahun ini. Yang ada hanyalah relokasi lokal industri dalam negeri, yang umum dari daerah padat industri yang upahnya lebih tinggi ke daerah yang upahnya lebih rendah atau ke daerah pinggiran. Ini bisa kita lihat statistik berkurangnya jumlah industri di Jakarta, Tangerang dan Bandung serta berkembangnya industri di Sukabumi, Subang, Majalengka, dan kabupaten Semarang. Fakta lainnya kita disuguhkan pada tingkat pengangguran yang terus meningkat, artinya argumentasi intelektual akan terbukanya lapangan pekerjaan bagi pengangguran menjadi terbantahkan.

Dalam kehidupan keseharian di perusahaan-perusahaan atau kawasan industri, praktek hubungan industrial berkenaan dengan pekerja/buruh kontrak, bisa kita dapatkan kondisi sebagai berikut :

Pertama, perjanjian kerja dibuat sepihak atau tanpa proses kesepakatan, tidak sesuai dengan UUK (Undang Undang Ketenagakerjaan) Nomor 13/2003 pasal 52 huruf (a) dan (c).

Kedua, perjanjian kerja hanya dibuat tidak rangkap dan pekerja tidak diberi tahu serta! isi perjanjian kerja tidak lengkap sesuai UUK 13 pasal 54 aya! t 1, 2 d an 3.

Ketiga, pekerja kontrak yang diberi status harian kantor, pekerja harian lepas (PHL) atau ada beberapa sebutan lainnya diberi upah antara Rp. 10.000,- 15.000,- per hari dengan waktu kerja antara 8 jam sampai 12 jam.

Keempat, pekerja kontrak mayoritas tidak diberikan fasilitas kesehatan, uang makan, uang lembur.

Kelima, pekerja kontrak/PKWT selama 2 tahun tidak boleh nikah dan hamil bagi pekerja perempuan

Keenam, diharuskannya membuat syarat-syarat baru bagi pekerja saat memperpnjang kontrak/PKWT.

Ketujuh, adanya perbedaan perjanjian antara pekerja laki-laki dan perempuan saat perpanjangan, pekerja laki-laki diberi pekerjaan-pekerjaan yang tidak begitu berat tanggung jawab p! roduksinya serta diperpanjang tanpa syarat-syarat baru.

Kedepalan, adanya pemberian THR dan hak-hak lainnya yang diatur Undang-Undang kepada Pekerja kontrak/PKWT adalah tidak sesuai atau jauh di bawah standar aturan.

Di lain hal, adanya penerapan sistem kontrak telah membuat suasana kerja tidak tenang, ini karena adanya rasa tidak nyaman bagi pekerjaan dan adanya perbedaan-perbedaan antara pekerja tetap dan kontrak sehingga membuat resah, kondisi ini tentu disadari sepenuhnya oleh perusahaan akan berimbas pada hasil kerja atau produktivitas perusahaan baik kualitas dan kuantitas.

Nah, sebenarnya secara praktek sistem kerja kontrak-outsourcing bukanlah jawaban atas krisis ekonomi yang terus melanda negeri ini, karena jawaban tersebut terbukti tidak bisa mengentaskan pelaku ekonomi dan rakyat terbebas dari krisis. Sistem kontrak-outsourcing hanya membesarkan pemodal besar dan membenamkan pemodal kecil serta kaum buruh yang memiliki daya beli rendah akibat sistem ini.

Hukum dan prakteknya

Secara prinsip di dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (UUK 13/2003) telah mengatur pekerjaan dan waktu serta kegiatan yang membolehkan sistem kerja kontrak [dalam bahasa UUK 13/2003 adalah Perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT], yakni dalam pasal 56, 57, 58, 59 dan 60, di antaranya sebagai berikut :

Pasal 58 ayat 1: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) Tidak boleh adanya masa percobaan;

Pasal 59 ayat 1: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu: (a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, (b) Pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tidak lama,paling lama 3 tahun, (c) Pekerjaan yang bersifat musiman, (d) Pekerjaan yang mengerjakan produk baru, kegiatan baru, percobaan atau penjajakan;

Pasal 59 ayat 2: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap;

Pasal 59 ayat 6: Perjanjian waktu tertentu (PKWT/kontrak) yang tidak memenuhi ketentuan pasal 59 ayat (1), (2), (4), (5) dan (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (tetap).

Ditinjau dari dasar hukum ini, praktek sistem kerja kontrak-outsourcing telah melanggar dan sudah seharusnya diberikan sanksi hukuman yang tegas kepada pengusaha atau setidaknya adalah mengembalikan sistem kerja kepada pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.

Melihat celah perlawanan yang sederhana

Secara sadar dan penuh harapan, pekerja kontrak bila ditanya apa yang diinginkan dan diharap dari hubungan kerja ini akan menjawab “ Perubahan status kerja yang asalnya pekerja/buruh kontrak, menjadi pekerja/buruh tetap. Untuk semua jenis pekerjaan dan masa kerja sesuai dengan tanggal masuk kerja “.

Lalu bagaimana cara perjuangannya?

Kendala paling besar adalah ketakutan akan dipecat secara sepihak dan tanpa pesangon bagi kaum buruh yang status kerjanya kontrak. Namun dari beberapa diskusi ternyata ada satu celah yang bisa diperjuangkan secara maksimal dan yang belum pernah dicoba oleh kaum buruh kita untuk mengajukan kepada perusahaan dengan kajian hukum dan prakteknya serta dinegosiasikan. Karena secara praktek sistem kerja kontrak-outsourcing sangat bertentangan dengan hukum yang memberikan legitimasi, yakni UUK 13/2003. Tentu tidak mudah, syarat yang harus dipenuhi yakni mayoritas buruh kontrak (paling tidak 75%) ikut mendukung dalam pengajuan tersebut.

Pilihan untuk 75% adalah agar pengusaha berpikir ulang untuk memecat sebanyak orang yang ikut karena pengusaha harus mendapatkan pekerja baru dengan kualitas yang sama. Cara mendukung sangat mudah yakni dengan membuat pengajuan kepada perusahaan dengan argumentasi hukum dan praktek seperti di atas serta diedarkan kepada buruh kontrak untuk ditandatangani serta dibuat grup diskusi tentang hal tersebut. Surat ini bisa dilayangkan kepada semua instansi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.

Bila ini bisa dilakukan dengan serentak oleh kaum buruh kontrak di perusahaan atau kawasan industri, maka tidak mustahil sistem ini bisa berubah. Bila negosiasi tidak terjadi, maka kekuatan yang besar tersebut bisa melakukan mogok. Pekerjaan di tingkat wilayah atau perusahaan ini juga harus didukung oleh serikat pekerja/serikat buruh tingkat nasional untuk merubah sistem kerja yang merugikan rakyat.
Usaha ini sedang dilakukan oleh kawan-kawan kontrak dengan membangun organisasi yakni PBKM-I (Perjuangan Buruh Kontrak Menggugat-Indonesia) dengan terus melakukan diskusi dan penggalangan tanda tangan dukungan di dua pabrik garmen untuk merubah sistem kerja kontrak menjadi tetap.

*Penulis adalah anggota PBKMI (Perjuangan Buruh Kontrak Menggugat Indonesia) di wilayah industri Majalaya dan anggota PRP Komite Kota Bandung Raya
Kata kunci: perburuhan
tidak ada komentar

Tahun ajaran baru, (awal) kesengsaraan baru Jul 25, '08 6:20 AM
untuk semuanya
Sarwo Raras*

Dalam setahun, orang tua murid minimal harus menyediakan biaya pendidikan sejuta rupiah...” Penggalan kalimat di atas, saya baca secara sepintas di Harian Kompas 3 hari yang lalu. Dan ketika saya mulai membuat tulisan ini, adalah tepat 4 hari dua orang anak saya memasuki hari sekolah yang baru. Si sulung, masuk kelas 4 SD sedangkan si bungsu memasuki hari barunya di TK. Kemudian apa hubungan antara keduanya? Jawabnya saya yakin dirasakan hampir sebagian besar orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya: kepusingan!

Sebulan yang lalu, mungkin menjadi hari yang membahagiakan bagi saya, ketika melihat nilai raport anak saya yang lumayan bagus dan naik kelas 4, sementara si bungsu mendapatkan sekolah barunya. Ada semacam “hiburan kecil” atas kelelahan menyiapkan hari-hari panjang sekolahnya, sepertinya terbayar jerih payah. Namun, suasana itu rasanya tidak bertahan lama karena biasanya ketika anak-anak liburan sekolah, jantung saya terasa dipacu secara paksa lebih kencang saja. apalagi kalau bukan karena kepusingan memikirkan biaya sekolah anak-anak dalam tahun ajaran baru. Artinya, memasuki tahun ajaran baru pastilah dihadapkan pada kondisi yang sangat dilematis dan benar-benar sulit.

Pengalaman tahun-tahun sebelumnya mengajarkan pada ibu muda seperti saya untuk menghitung lagi berapa nilai rupiah yang harus saya siapkan untuk menutup kebutuhan sekolah anak-anak. Jumlahnya cukup besar untuk ukuran saya yang bersuamikan buruh dengan penghasilan sangat pas-pasan, bukan karena suami malas bekerja tetapi memang upahnya sangat rendah. Ini realita tanpa bermaksud mengabaikan nasihat orang tua saya dulu: pandai-pandailah bersyukur. Tetapi menceritakan kondisi yang sebenarnya sebenarnya juga bukan sesuatu yang salah karena sesungguhnya hampir sebagian besar orang tua yang lain juga mengalami hal yang kurang lebih sama.

Petikan kalimat dari koran yang saya baca, terbukti tidak tepat, karena ternyata saya harus menyediakan uang yang jauh lebih besar, bukan sejuta rupiah. Tetapi lebih besar lagi. Hitung saja misalnya pengeluaran nyata yang saya alami: uang pendaftaran anak bungsu masuk TK mencapai 475.000 rupiah untuk keperluan seragam, uang gedung, uang pendaftaran. Itu belum termasuk kebutuhan sekolah lainnya semisal buku tulis, sepatu, tas dan lain-lain. Kemudian untuk si sulung, uang yang harus saya keluarkan juga tak kalah besar. seragam barunya saja mencapai 150.000 rupiah, juga buku dan alat tulis tak kurang dari 100.000 rupiah. Tiba-tiba saya terhenyak ketika sepulang sekolah tadi siang si sulung menyerahkan daftar buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS) dan “kewajiban” membeli alat praktek musik pianika sebesar 500.000-an rupiah. Duh, sepertinya tidak ada kesempatan untuk bernafas. Belum lagi uang jemputan sekolah sebesar 130.000 rupiah. Berapa total semuanya? Kurang lebih 1.355.000 rupiah bukan dalam setahun, tetapi dalam waktu hanya sekitar seminggu saja.

Tapi perlu diingat, pengeluaran itu belum seberapa karena masih akan ditambah lagi “proyekisasi” yang dilakukan oleh guru dan kepala Sekolah untuk berbagai hal. Sebut saja misalnya pengadaan buku paket dan LKS. Pilihannya bukan kualitas tapi semata-mata pada tingginya bonus atas nama diskon dari penerbit yang menggiurkan sampai 35% seandainya kepala sekolah berhasil menggolkan buku dari penerbit tertentu. Ini adalah ironis. Lengkaplah kepusingan para orang tua.

Quo Vadis Pendidikan Indonesia ?

Saat ini semangat semua orang adalah otonomi. Tetapi pemaknaannya manjdi sangat keliru. Otonomi dipahami sebagai “kekuasaan” semata. Jadilah gairah otonomi yang didengungkan terhadap lembaga pendidikan, urusan sekolah di Indonesia semakin runyam dan mengkhawatirkan. Otonomi dalam praktik cenderung menjadi komersialisasi pendidikan. Padahal, mahalnya uang sekolah tidak diimbangi oleh perbaikan kualitas pendidikan.

Nampak jelas sekali bahwa slogan bangsa hanyalah utopis. Menjadi semakin ironis jika selama ini kerap menyatakan ambisinya untuk dunia pendidikan di negeri ini. Dalam konstitusi negara yang sudah diamandemen dengan “penuh nafsu” oleh para wakil rakyat terhormat misalnya, disebutkan seperlima bagian dari seluruh APBN diperuntukkan bagi pendidikan. Belum lagi produk perundangan selanjutnya yang mengesankan intervensi sedemikian jauh, seolah-olah negara begitu memperhatikan perlunya mencerdaskan bangsa.

Nyatanya, apa yang tertuang dalam konstitusi negara belum terlihat dampaknya. Banyak sekolah-sekolah yang butuh bantuan, namun tidak ada perhatian pemerintah sehingga tamatlah kelangsungannya. Hal ini tidak hanya terjadi di pelosok, tetapi di ibu kota pun beberapa bangunan sekolah roboh. Sebaliknya, ada juga sekolah-sekolah yang berani memasang ’harga’ begitu tinggi sehingga masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan pasti tidak berani mendaftarkan anaknya.

Ekspresi demikian muncul dalam jajak pendapat Kompas. Kali ini, tidak kurang dari 42 persen responden berpendapat, biaya sekolah di SD saat ini sangat mahal. Hanya 18 persen saja yang menganggap biaya di SD saat ini tergolong murah. Artinya ada 82 persen yang lain menyatakan bahwa pendidikan mahal. Untuk biaya di sekolah menengah, 45 persen responden mengangg! ap biaya di SMP saat ini mahal dan 51 persen menganggap biaya di SMU saat ini mahal. Hanya 12 persen responden yang masih menganggap biaya sekolah di SMP murah dan sembilan persen biaya di SMU murah.

Inilah kondisi yang sebenarnya terjadi, bahwa negara memang tidak memiliki perhatian yang serius terhadap dunia pendidikan kita. Meskipun sudah diatur dalam konstitusi bahwa 20 % APBN adalah untuk pendidikan, namun presiden justru malah menjadi orang pertama yang melanggar hal itu dengan mengingkari ketentuan anggaran pendidikan 20 % tersebut, alasannya akan dilaksanakan secara bertahap, tetapi tidak jelas bagaimana caranya dan kapan?

Apa Solusinya?

Berbicara solusi, hari ini tentu menjadi barang yang mahal dan langka, sama mahal dan langkanya dengan BBM yang sudah dulu terjadi. Lebih sama lagi dengan mahal dan langkanya tanggung jawab negara atas permasalahan rakyatnya. Letak solusi itu ternyata ada pada political will dari pemerintah. Konsistensi pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusi menjadi kuncinya. Tetapi mungkinkah kita berharap banyak?

Saya, kadang-kadang mendiskusikan dengan ibu-ibu yang lain di lingkungan tempat tinggal saya tentang kondisi ini. Dan kesimpulannya, sebenarnya pemerintah mampu membuat biaya pendidikan ini menjadi murah bahkan gratis sekalipun. Sekali lagi, kuncinya adalah keberanian pemerintah membuat keputusan politik atas hal ini. Katakanlah, dari penyelamatan uang negara yang dikorupsi saja kita bisa menutup biaya pendidikan yang sangat tinggi itu. Ini tentu upaya tidak mudah yang lagi-lagi membutuhkan keseriusan pemerintah. Tentu saja upaya ini harus dibarengi dengan upaya-upaya politis lainnya, misalnya saja menyusun regulasi pendidikan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan justru mengejar kepentingan sesuai dengan tuntutan pasar alias kapitalisasi pendidikan. Karena kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan hari ini justru sudah memangkas hak politik dan sipil mereka yang miskin. Pilihan politik maupun sipil, dengan begitu hanya terbuka bagi mereka yang berkecukupan. Karena itu, perluasan lingkup kebebasan tidak sekedar berkisar seputar kebebasan demokratis, melainkan juga syarat-syarat aksentuasinya seperti fasilitas ekonomi, kesempatan sosial dan perlindungan sosial.

Tetapi pertanyaannya yang selalu mengganjal di hati saya adalah mungkinkah hal itu akan berhasil kalau ternyata pemerintah yang kita harapkan mampu membuat terobosan itu juga kerepotan mengurus dirinya sendiri? Kalau bukan karena sibuk menyusun anggaran untuk kampanye menjelang pemilu 2009, tentu sedang sibuk menyelamatkan dirinya dari terjangan badai KPK yang hari ini sedang manjadi amuk bagi sebagian besar anggota DPR.

Ah, rasanya orang tua seperti saya, harus mengubur jauh-jauh mimpi untuk melihat anak-anak dapat bersekolah dengan kesempatan yang luas, biaya murah dan mencapai jenjang yang lebih tinggi. Terkuburnya mimpi saya dan para orang tua yang lain hari ini, pada waktunya nanti akan menuju terkuburnya mimpi bangsa ini mencapai taraf yang lebih maju. Betapa tidak? Anak-anak yang kelak akan memimpin negeri ini, hari ini dibiarkan bodoh.
Mari kita renungkan, benarkah tahun ajaran baru ini adalah awal kesengsaraan baru?

*Penulis adalah seorang ibu rumah tangga tinggal di Karawang dan anggota PRP Komite Kota Karawang
Kata kunci: pendidikan
tidak ada komentar

Relevansi Sosialisme di Abad ke 21 Jul 22, '08 12:36 PM
untuk semuanya
Ken Budha Kusumandaru*

Pendahuluan

Ketika tembok Berlin dirubuhkan di tahun 1989 dan Uni Sovyet dengan resmi menganut Perestroika dan Glasnost di tahun 1985, banyak orang—terutama para pembela kapitalisme—mengumandangkan berakhirnya era sosialisme dan meniup sangkakala kemenangan bagi pasar bebas.

Dengan keyakinan penuh bahwa kapitalisme telah memenangan pertempuran terakhirnya melawan sosialisme, para penganjur pasar bebas kemudian mendorong untuk dilaksanakannya kapitalisme tanpa kekangan di seluruh dunia. Karena merasa sudah tidak perlu lagi menangkal pengaruh paham sosialis, para penguasa kapitalis di seluruh dunia pun mulai memereteli perangkat Negara Kesejahteraan ala Sosial-Demokrasi—yang dibangun untuk “meringankan beban kemiskinan dan melindungi rakyat dari dampak terburuk perekonomian pasar”[2] Perekonomian pasar bebas menunjukkan taringnya secara penuh—menyisakan “subsidi terarah” (targeted expenditures) dan “mekanisme pasar dalam penyediaan layanan sosial” (baca: privatisasi pelayanan publik) sebagai jaring pengaman sosialnya. Pada saat ini, orang telah menciptakan istilah baru bagi kapitalisme-tanpa-kekang ini; yakni neoliberalisme.

Sudah begitu banyak upaya orang untuk menunjukkan bahwa kapitalisme tanpa kekangan ini (yang disamarkan dalam istilah “globalisasi”) telah berhasil meredakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan di seluruh dunia. Penelitian dari UNU-WIDER[3] di tahun 2007, misalnya, berusaha menunjukkan bahwa—secara global—kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin makin menyempit. Tapi, sementara kesenjangan antar negara menyempit, ternyata kesenjangan yang terjadi antara kaum kaya dan kaum miskin di masing-masing negara justru menguat.[4] India dan Cina, yang dalam penelitian UNU-WIDER telah semakin mengejar negara-negara kaya dalam pendapatan globalnya, ternyata membayar kecepatan pertumbuhan ekonominya dengan percepatan pertumbuhan rakyat pekerja miskin—yakni mereka yang berpendapatan tetap, namun di bawah garis kemiskinan yang dianut dalam statistik resmi negeri bersangkutan. Terlebih lagi, globalisasi ekonomi (a.k.a. neoliberalisme) tidak menghapuskan penyebab dasar kemiskinan dunia: jebakan hutang, pelarian kapital, kesenjangan daya beli, monopoli teknologi dan pemiskinan rakyat pekerja.[5]

Semakin hari, semakin banyak orang di seluruh dunia meyakini bahwa kapitalisme bukanlah “akhir dari sejarah”. Orang kembali mencari alternatif bagi kapitalisme, sebuah sistem ekonomi yang bisa mengembalikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang.

Amerika Latin

Jika kita mau bicara tentang bagaimana alternatif terhadap kapitalisme tanpa kekang dibangun, mau tidak mau kita harus bicara tentang Amerika Latin—sebuah penyebutan bagi negeri-negeri berbahasa Portugis atau Spanyol di selatan Amerika Serikat. Berbagai negeri di Amerika Latin, sampai hari ini, masih merupakan tanah yang subur bagi bertumbuhnya ide tentang sosialisme. Pembantaian-pembantaian keji yang dilakukan terhadap para penganut politik sayap kiri di Chile, Honduras, Argentina, dan banyak lagi lainnya, tidak sanggup membunuh benih-benih pikiran sosialis di sana. Dan ketika kapitalisme tanpa kekang sekali lagi membuktikan kegagalannya menyejahterakan rakyat, tanpa dapat dicegah lagi, sosialisme muncul sebagai alternatifnya.

Satu persatu… negeri-negeri di Amerika Latin bergeser ke kiri—dengan segala varian dan varietasnya. Dari Amerika Tengah, kita dapati Kuba (yang masih juga bandel dan gak ada matinya) dan Nikaragua sebagai negeri yang secara tradisional memiliki kekuatan kiri yang besar. Dari Amerika Selatan kita dapati Brazil, Venezuela, Bolivia, Argentina, Chile, Uruguay dan Ekuador. Praktis 70 persen dari wilayah Amerika Selatan sekarang menerapkan salah satu bentuk sosialisme.

Yang paling menarik dari gejala ini adalah bahwa sosialisme di sana relatif bebas dari beban masa lalu, beban harus mengikuti contoh negara-negara sosialis besar seperti Uni Sovyet atau Cina. Masing-masing negeri mengangkat ciri khas sosialismenya sendiri. Rakyat pekerja di negeri-negeri bersangkutan dengan berani menjalankan berbagai macam percobaan penerapan sosialisme. Percobaan-percobaan ini tidak terbayangkan akan dilakukan orang jika berperdoman mati pada praktek sosialis yang dilangsungkan di Uni Sovyet atau Cina.

Salah satu yang menonjol adalah penyatuan antara sosialisme dan agama—yang kita kenal sebagai Teologi Pembebasan,[6] sebuah Teologi yang menempatkan pembebasan holistik (di dunia dan di surga sekaligus) sebagai pokok ajarannya. Gerakan-gerakan semacam Izquierda Christiana (Kristen Kiri) menjadi bagian tak terpisahkan dari Partai Sosialis Chile. Di Amerika Latin, Marxisme dipakai untuk memperkaya pendalaman Kitab Injil. Sebaliknya, ajaran-ajaran Injil dipakai sebagai panduan dalam menjaga tingkah-laku dari tiap orang sosialis.

Hal lain yang mungkin tidak terpikirkan adalah pembangunan komunitas-komunitas rakyat yang dipusatkan pada pengelolaan independen atas sumberdaya. Solusi-solusi radikal seperti pengambilalihan pabrik yang ditinggal kabur oleh pengusahanya dilakukan sebagai satu titik sentral bagi pembangunan organisasi komunitas—yang melibatkan pula perempuan dan kelas menengah dalam bentuk dapur umum atau sekolah publik.[7] Atau pembangunan Perkebunan Komunitas, yang hasilnya sepenuhnya diserahkan kepada organisasi demi membiayai pelayanan publik.[8] Pada masa lalu, praktek seperti ini akan segera dicap reformis. Tapi, dalam konteks Amerika Latin hari ini, tindakan-tindakan ini terhitung sangat radikal dan dilakukan dalam semangat sosialistik yang kental.

Apakah Sosialisme dapat diterapkan selain di Amerika Latin?

Tentu saja. Makin hari, perlawanan orang terhadap globalisasi makin keras. Makin hari orang makin menyadari bahwa kapitalisme tanpa kekangan tidak dapat lagi dipertahankan. Beberapa di antara para penentang globalisasi ini berpendapat bahwa—dengan demikian—kapitalisme harus kembali dikekang. Tapi, kita sudah belajar dari pengalaman bahwa kekangan terhadap kapitalisme pun tidak menghilangkan sumber-sumber terjadinya kemiskinan. Terlebih lagi, saat ini, kapitalisme sudah berada dalam situasi krisis yang luar biasa, di mana jarak antar siklus boom-and-bust yang dulu terjadi dalam rentang belasan tahun, kini bisa terjadi dalam hitungan bulan.

Kapitalisme sendiri selalu berusaha mencari wajah-wajah baru dalam upayanya untuk selalu memperbaharui diri. Tidak kurang dari istilah Kapitalisme Humanistik dikumandangkan oleh duet pendiri Amway—Jay van Andel dan Rich de Vos. Bentuk-bentuk ekonomi kapitalis berwajah relijius juga dikembangkan oleh banyak pemikir kapitalis, untuk mencegah terjadinya fusi antara sosialisme dan agama seperti yang terjadi di Amerika Latin. Perusahaan-perusahaan multinasional juga sibuk dengan konsep Corporate Social Responsibility (“tanggung jawab sosial perusahaan”) untuk meredam kemarahan rakyat pekerja akan kerakusan MNC dalam menguras sumberdaya alam. Menarik dicermati bahwa bagian CSR dalam satu perusahaan biasanya ditempatkan di bawah bagian Public Relation.

Satu-satunya alternatif sejati terhadap kapitalisme adalah sosialisme. Dia boleh diberi nama apa saja. Tapi, sosialisme—pada hakikatnya—adalah antitesa dari kapitalisme. Di mana kapitalisme mengutamakan keuntungan bagi individu, sosialime mengutamakan kemaslahatan publik; di mana kapitalisme membenarkan manipulasi publik, sosialisme mendorong keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan; di mana kapitalisme memisahkan antara aparatus pelayan publik dengan “penerima benefit”, sosialisme meleburkan keduanya, membuat publik sanggup melayani diri sendiri.

Sosialisme bukanlah sebuah lampu wasiat yang mampu mengabulkan permintaan Anda. Sosialisme hanya menyediakan panduan untuk berjuang memerdekakan diri sendiri, membuat orang menaruh nasibnya ke tangan sendiri. Sosialisme tidak akan serta-merta membuat satu negeri menjadi kaya-raya. Sosialisme hanya dapat membuat kesejahteraan diterima secara lebih merata. Dalam sebuah negeri miskin, semua orang akan tetap miskin. Tapi, Sosialisme akan memastikan bahwa di negeri miskin ini tidak akan ada orang yang berani-beraninya menjadi kaya-raya dengan memeras dan menghisap sekian banyak rakyat pekerja miskin di negeri tersebut.

Penutup

Paper singkat ini tidak ditujukan untuk menerangkan sosialisme secara komprehensif, melainkan hanya untuk menarik minat sidang pembaca terhadap sebuah alternatif terhadap kapitalisme—yang dipropagandakan oleh para pembela kapitalisme sebagai “telah usang dan berkarat”—namun muncul kembali dalam bentuk yang lebih segar dan lebih bugar di berbagai belahan dunia, seperti Amerika Tengah dan Selatan.

Diskusi-diskusi mengenai apa itu sosialisme dan bagaimana sosialisme dapat diterapkan dalam praktek kiranya akan menjadi bagian yang sangat menarik sebagai kelanjutan dari diskusi ini.



Jakarta 23 April 2008





Bibliografi

Buku:

Chotikapanich, Duangkamon, et.al. Global Inequality: Recent Evidence and Trends. World Institute of Development Economic Research. Research Paper no. 2007/01. Januari 2007

Dziedzic, Nancy. World Poverty. Thomsons Gale. Michigan. 2007.

Smith, J.W. Economic Democracy: The Political Struggle Of the Twenty-first Century. 4th Edition Expanded and Updated. Institute for Economic Democracy Press. Sun City, Arizona. 2005



Website:

MST (Movimiento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) http://www.mstbrazil.org/

The politics of welfare, http://www2.rgu.ac.uk/publicpolicy/introduction/politics.htm

What is the State? http://www.marxism.org.uk/pack/state.html

Wikipedia http://en.wikipedia.org/wiki/Berlin_Wall

Wikipedia http://en.wikipedia.org/wiki/Soviet_Union

Wikipedia http://en.wikipedia.org/wiki/Liberation_theology



Multimedia:

No Volveran, produksi Hands of Venezuela, 2007.

The Take, produksi Avi Lewis dan Naomi Klein, 2004.

[1] Divisi Pendidikan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja. Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Publik “Relevansi Sosialisme dalam Era Kontemporer”, Ruang Seminar MBRC, FISIP UI, 23 April 2008.

[2] The politics of welfare, http://www2.rgu.ac.uk/publicpolicy/introduction/politics.htm

[3] Chotikapanich, et.al. 2007. p.16.

[4] Dziedzic, 2007. p. 38.

[5] Smith. 2005.

[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Liberation_theology

[7] Lihat film No Volveran dan The Take

[8] Tentang ini dapat dibaca lebih lanjut dalam situs MST (Movimiento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra) http://www.mstbrazil.org/


Kata kunci: analisa umum, sosialisme
tidak ada komentar

Byaar Pet...Rakyat juga yang menjadi korban! Jul 22, '08 12:33 PM
untuk semuanya
Khamid Istakhori*

Byaaaar pet……… Demikian ungkapan sangat populer untuk menggambarkan kondisi perlistrikan di Indonesia. Tiba-tiba mati tanpa pemberitahuan atau Listrik masih juga belum nyala meskipun sebenarnya jadual pemadaman sudah lewat.
Suasana itu nyata sekali sebagai dampak dari pemadaman bergilir yang dilakukan oleh PLN itu saat ini menjadi sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. PLN, sebagai pihak yag bertanggung jawab mengurus tersedianya pasokan listrik bagi masyarakat dalam kondisi yang meradang akibat ketidakmampuan mengelola sumber energi listrik.
Akibatnya sudah dapat diduga pula, PLN akhirnya menuai badai kritikan dan protes yang berkepangnjangan dari masyarakat. Mulai tuduhan tidak mampu mengelola sumber daya dan energi yang sebenarnya berlimpah hingga tudingan bahwa birokrasi PLN korup menunjukkan kebenaran bahwa memang perusahaan negara ini (sebagaimana perusahaan negara yang lain) memang gagal dan tidak mempu melayani publik, rakyatnya sendiri. Dan pemadaman begiliran itu, adalah akibat yang hari ini harus kita rasakan.

Permasalahan kembali menjadi lebih rumit, Alih-alih segera memperbaiki kinerja yang memang amburadul, pemerintah malah membuat alasan-alasan yang terkesan hanya sebagai upaya untuk menyelamatkan muka sendiri tetapi tetap saja permasalahan utamanya tak penah terselesaikan. Alasan utamanya adalah krisis energi, sehingga ujung-ujungnya pasti rakyat yang harus setiap hari mendengarkan wejangan bijak yang sejatinya tak bijak tentang bagaimana melakukan penghematan, Celakanya lagi disertai ancaman kalau tak berhasil berhemat sesuai dengan skema tawaran negara maka akan dihukum dengan kenaikan biaya pembayaran rekening listik yang jauh lebih tinggi.

Indonesia Krisis Energi, Benarkah ?

Ini adalah pertanyaan klasik ketika kita membicarakan energi, mulai dari sumber daya energi minyak (baca : BBM) yang kekacauannya sudah sangat parah terlebih melihat kepanikan pemerintah membuat argumen sesat untuk melegitimasi kenaikan harga BBM yang jauh melebihi analisa akal sehat, sekarang argumen-argumen dangkal berikutnya disodorkan pemerintah ketika sumber energi listrik tak tersedia dengan cukup untuk kehidupan rakyatnya, Maka berbagai tawaran dan solusi sepihak dipaksakan oleh pemerintah. Sungguh sebuah solusi yang anarkis.

Listrik, seharusnya bukan menjadi masalah yang mengkhawatirkan seandainya pemerintah benar-benar mengelola melalui cara-cara yang berkeadilan. Benar-benar dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyatnya sesuai dengan amanah konstitusi negara. Negara benar-benar menguasai hajat hidup orang banyak ini dengan “satu tujuan utamanya” mensejahterakan rakyatnya. Sama seperti ketika negara gagal mengelola minyak, padahal Indonesia adalah negara sangat kaya minyak dengan cadangan yang belimpah, bahkan melampaui cadangan yang dimiliki Arab Saudi. Kenapa Indonesia “krisis” minyak? Nyata-nyata diakibatkan karena salah kelola sehingga kita harus membeli minyak sendiri dengan harga yang sangat mahal. Maka, demikian pula dengan energi listrik, karena pengelolaan yang serampangan maka kini “krisis listrik” harus kita tuai sebagai akibatnya. Sama seperti minyak, kita juga dipaksa untuk membeli listrik dengan harga yang jauh melebihi harga normalnya karena banyak hal: kepengelolaan yang tidak efisien, dampak pengusaan swasta terhadap pegelolaan sumber energi listrik (baca privatisasi) dan juga tentu saja karena kebijakan-kebijakan perlistrikan yang hanya melayani kepentingan modal asing dan diperparah dengan perilaku birokrasi kita yang korup. Lengkap sudah alasan itu menjadi jawaban, bukan semata-mata kenapa listrik jadi mahal tetapi juga kenapa pasokannya tidak optimal untuk kehidupan rakyatnya.

“……. Kami ini serba salah. Untuk produksi listrik kami harus membeli bahan balar minyak dengan standar harga industri. Sementara bahan bakar gas tak tersedia karena justru dijual kepada Jepang dan Malaysia. Kemudia ketika kami memilih bahan bakar batubara, masalah kembali muncul karena kami tersandung kebijakan yang ruwet mulai dari suplai, stok di depo dan berbagai kesulitan lain. Dan sekarang kami dijebak dalam permainan politik yang dihembuskan negara bahwa kenaikan harga listrik adalah kamauan PLN……,“ kata salah seorang Pengurus Serikat Pekerja PLN dalam aksi “Tolak Kenaikan BBM.” “Padahal, kalau negara membuat kebijakan dan memerintahkan agar kami menjual listrik gratis kepada masyarakat pasti akan kami lakukan,” katanya.

Ungkapan kalimat kekesalan di atas setidaknya menjadi bukti bagi kita semua, bahwa sebenarnya memang pemerintah hanya akan mencari “menang sendiri” dengan melemparkan segala jenis kesalahan pada pihak lain. Lebih tegas, pesan yang kita terima adalah bahwa sejatinya pemerintah dalam posisi tidak memiliki kedaulatan untuk mengatur hidupnya demi kemakmuran rakyatnya. Tidak ada kemauan politik untuk mengambil keputusan berani. Sama kejadiannya ketika kita membahas karut-marut pengelolaan BBM. Bukan krisis energi yang terjadi, tetapi sebenarya adalah krisis keyakinan politik, krisis dan ketidakpercayaan pada kekuatan diri sendiri. Itu yang sebenarnya terjadi.

Rakyat Juga yang jadi Korban

"Panasonic Lighting yang berlokasi di Pasuruan, Jawa Timur, terpaksa merugi Rp 4 miliar akibat pemadaman tidak terjadwal," kata John Manopo, Ketua Asosiasi Perlistrikan Indoesia memberikan keterangan.

Media massa mencatat, setidaknya selama Mei – Juni 2008, Perusahaan Jepang mengalami kerugian hingga 48 miliar rupiah akibat pemadaman bergilir tersebut. Dalam catatan Aperlindo, ujar John, perusahaan itu berkapasitas 25 juta unit lampu hemat energi per tahun. Sekitar 80% produksi perusahaan itu dialokasikan untuk ekspor dengan harga jual US$ 2/unit. "Dengan adanya pemadaman tidak berjadwal, Panasonic Lighting mengaku kewalahan memenuhi order ekspor. Saat terjadi pemadaman listrik, pekerja Panasonic Lighting terpaksa masuk jam 15.00 WIB. Ini mengganggu kinerja perusahaan," ucapnya. Menurut John , pemadaman listrik bergilir itu membuat pengusaha Jepang berniat merelokasi usahanya ke China. Ancaman hengkangnya pengusaha Jepang itu turut membuat pemerintah, mempercepat rencana penghematan listrik di dalam negeri. Salah satu opsinya adalah adanya kebijakan yang melarang industri beroperasi saat beban puncak PLN pukul 17.00-22.00 WIB. "Operasional industri pada waktu itu akan digeser ke Sabtu-Minggu," kata Dirjen ILMTA Depperin Ansari Bukhari, usai rapat internal di Gedung Depperin.

"Selain mengurangi subsidi listrik, penghematan konsumsi listrik juga akan menghindari pemadaman listrik bergilir yang merugikan industri kecil dan menengah," ujar Menteri Perindustrian Fahmi Idris setelah rapat terbatas di Kantor Wakil Presiden. Selain Fahmi, rapat juga diikuti Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Dirut PLN Fahmi Mochtar, Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10 Ribu MW Yogo Pratomo, dan Ketua Tim Pelaksana Penghematan Listrik Eddie Widiono. Ujung-ujungnya, subsidi untuk rakyat lagi yang harus dipangkas.

Apakah masalah selesai? Sikap cepat pemerintah untuk merespon ancaman pengusaha Jepang dengan menerbitkan SKB 5 menteri yang mengatur dan menggeser jam kerja pada Sabtu-Minggu atau pada hari libur, setidaknya menunjukkan 2 hal, pertama bahwa pemerintah selalu panik dengan ancaman relokasi yang selalu jadi ancaman pengusaha-pengusaha asing. Kedua, satu-satunya kebisaan dan kebiasaan pemerintah untuk menjawab ancaman itu adalah dengan mengorbankan rakyatnya dalam hal ini buruh.

Secara sederhana, penggeseran jam kerja pada hari libur, Sabtu dan Minggu dapat dipastikan akan membuat kerugian sosial yang sangat tinggi pada buruh. Kenapa? Alasan sederhananya, buruh kehilangan waktu berharganya untuk kehidupan sosialnya bermasyarakat dan juga menjalankan kemerdekaannya untuk menjalankan serikat karena sebagian besar buruh anggota serikat memanfaatkan waktu istrirahat mingguannya untuk agenda-agenda serikat buruhnya. Kerugian lain adalah, perusahaan tidak akan mau memberikan fasilitas lebih kepada buruh berkaitan dengan upah dan upah lembur. “Bagaimana kami akan membayar upah lembur, sementara kami juga mengalami kerugian akibat pemadaman listrik ini,” demikian kilah pengusaha.

Artinya? Tetap saja, selama pemerintah tidak mempunyai keberanian mengelola sumber daya energi secara berdikari dan dimulai dengan keputusan politik yang berani untuk semata-semata berpihak kepada kepentingan rakyatnya, maka sudah dapat dipastikan kondisi ini akan terus berlanjut dan menjadi lebih buruk.

Ya, Indonesia tidak krisis energi, tetapi sejatinya krisis politik untuk bersikap berani di hadapan kaum modal yang agenda utamanya memang melemahkan peran negara untuk kemudian sebesar-besarnya menghisap rakyatnya….
Byar pet! byaaar pet pet pet!

* Penulis adalah anggota Federasi Serikat Pekerja Karawang (FSPEK), Sekretaris Jenderal Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) dan anggota PRP Komite Kota Karawang
Kata kunci: analisa umum
tidak ada komentar

2009: Siapa yang ingin bergolput? Jul 22, '08 12:29 PM
untuk semuanya
Eka Pangulimara H*

Cukup mengejutkan! Belum lama ini ketua umum partai berlambang banteng moncong putih, Megawati, anak Bung Karno. Yang juga mantan presiden pertama di republik ini mengucapkan, "Orang-orang golput seharusnya tidak boleh menjadi WNI, karena mereka menghancurkan sistem dan tatanan demokrasi serta perundang-undangan di negara ini." Ketika menjadi juru kampanye untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu - Said Assagaff (RASA) pada kampanye putaran terakhir di lapangan Merdeka, Ambon, Sabtu, 5 Juli 2008. Tidak boleh menjadi WNI? Menghancurkan sistem dan tatanan demokrasi serta perundang-undangan di negara ini? Jangan-jangan Megawati sudah melakukan diskriminasi melihat bangsa, dan Rakyat Indonesia, jika terdapat suara politik yang berbeda? Perilaku semacam ini pernah terjadi di masa Orba.

Apakah benar di negara ini sudah betul-betul terbangun sistem dan tatanan berdemokrasi? Meskipun kerangka demokrasi prosedural menunjukkan berjalannya lembaga-lembaga penyelenggara pemilu, perundang-undangan, akuntabel, transparan, dan partisipatif. Yang terpenting apa hasil perubahan yang bisa dirasakan rakyat, di era transisi demokrasi, setelah pemilu usai?

Bangsa ini baru saja terlepas dari belenggu tirani orde baru. Itu saja. Kebebasan berpikir dan berideologi, belum bisa dikatakan mau wujud seutuhnya di negeri ini. Justru pernyataan bernada kecaman sekaliber Megawati, berpretensi menyumbat kembali arus kebebasan menentukan pilihan, dimana orang-orang yang golput, mau tidak mau, diakui merupakan bagian ekspresi berdemokrasi.

Di tingkat pabrik saja, kebebasan berserikat masih banyak yang dihalang-halangi, dan mendapat intimidasi, hingga di-PHK secara sepihak.
Jelas sekali Megawati ceroboh, dan amat gegabah. Upaya mendulang suara, malahan dipakai untuk menebar konflik. Utamanya para pemegang otoritas secara demokratis untuk melakukan golput. Misalnya Gus Dur, sudah mengeluarkan statement golput. Bedanya, Gus Dur bermaksud mengancam. Lantaran konflik internal partainya, berindikasi diintervensi pemerintahan SBY-JK.

Wapres Jusuf Kalla pernah berucap bahwa, “Golput itu anti demokrasi, apalagi kalau yang berteriak itu yang suka ngomong demokrasi.” Ketua Umum Partai Golkar ini, telah kehilangan jejak sejarah, dimana Golkar pernah menjadi kendaran politik Orde Baru. Faktanya, menjadi bagian pemasung demokrasi di masa rejim otoritarian. Lalu demokrasi yang dimaksud JK, menjadi milik siapa?
Menimbang konstelasi politik dan ekonomi kekinian, pemilu akhir-akhir ini telah mengisyaratkan sebuah restorasi kekuatan lama. Konsolidasi demokrasi bergeser makin liberal, berpangku pada kekuatan modal.

Ancaman neoliberalisme

Sekurang-kurangnya, ada tiga masalah dalam negara, yang mengadopsi neoliberalisme sebagai rumusan praktek bernegara. Pertama, sistem politik pemerintahan dan partai politiknya. Paska tergulingnya Soeharto, arus besar reformasi berhenti, dan berbelok arah. Liberalisasi politik menancapkan pada faktor permodalan, sebagai infrastruktur membangun bangsa ini. Maka panggung politiknya, hanya mempertontonkan wajah kaum pemodal. Hukum besi pemilik modal berlaku di sini, siapa yang menggelontorkan miliaran rupiah, kans yang didapat sejumlah itu.

Kebanyakan pengusaha, dan adanya relasi pemilik modal internasional berkepentingan mengeruk sejumlah sumber daya di Indonesia. Aset nasional dijuali. Minyak dikuasi Exxon Oil Mobil, hutan dibabati, sampai pulau berpindah tangan, dan jutaan manusia dimobilisasi mengais nafkah di negeri orang, menjadi TKI.

Kemudian fenomena parpol. Bisa dipastikan, jelang pemilu seperti ini, banyak parpol bermunculan bak cendawan di musim penghujan. Padahal tak banyak yang dilakukan. Paling-paling, aktivitasnya tak salah kalau dibilang, hanya sebatas mesin pencetak suara. Seolah merasa berada di sisi rakyat, parpol hanya terbiasa mengadakan pengobatan massal, pembagian sembako plus kaos, dan kegiatan filantropi lainnya. Setelah itu, menghilang dan sulit dimintai pertanggungjawabannya. Eksistensi yang diperlihatkan tak jauh dari datangnya tahun kabisat. Cuma selisih satu tahun pas pemilu saja. Sewaktu-waktu, parpol mendadak menghiasi lembaran media massa, tersebab pejabatnya setelah terpilih terlibat skandal, korupsi, ataupun sang pandai bicara di depan televisi, serta seminar ke seminar saja.

Yang kedua, produk kebijakannya. Saat ini Indonesia, di bawah kekuasaan SB-JK sudah tiga kali menaikkan harga BBM. Padahal kebutuhan yang satu ini, jelas menyentuh semua lapisan sosial masyarakat, terlebih rakyat mayoritas. Meningginya harga BBM di Indonesia, berdampak pada harga kebutuhan pokok masyarakat. Seperti: sembako, biaya transportasi, sewa kontrakan, dan masih banyak lagi. Apalagi kebutuhan pokok rakyat di bidang pendidikan dan kesehatan. Sudah banyak perguruan tinggi, dan rumah sakit negeri yang diprivatisasi. Biaya untuk bersekolah, melahirkan, berobat, biaya pernikahan, hingga tanah pemakaman pasti semakin mahal, dan tak terjangkau.

Masalah ketiga, rakyat mayoritas yang dirugikan. Dalam hal ini, kaum buruh, tani, nelayan, dan kaum miskin, akibat tekanan struktural yang dilakukan negara. Meluasnya sistem kerja kontrak dan outsourcing, PHK massal sejurus dengan menyempitnya lapangan pekerjaan, serta upah murah sudah dialami kaum buruh Indonesia. Yang jauh dari kesejahteraan atas hasil kerjanya. Begitu juga para petani yang berhadapan dengan realitas ongkos produksi pertanian yang melangit, sementara harga gabah rendah, dan minimnya peran negara meningkatkan teknologisasi pertanian. Nelayan di pesisir harus berhenti melaut, karena solar tak didapat. Penggusuran kaum miskin di kota, berbarengan dengan proyek pengadaan gedung, pembangunan jalan, yang diberi label harga untuk kaum kaya.

Payung hukumnya disediakan, dengan empat kali amandemen UUD 1945, merubah konsititusi negara, melegitimasi peran kaum pemodal menggenggam sistem ekonomi dan politik. Begitulah penjajahan bentuk baru -neoliberalisme- bekerja memarginalkan, membuat rakyat makin terasing di negerinya sendiri.

Memaknai golput

Pemilu 2009 sebentar lagi memang perlu memperoleh tanggapan politik rakyat. Ujar-ujar tentang sikap golput, sebaiknya dipandang arif, dan menjadi cermin ketidakpuasaan, serta kekecewaan rakyat atas problem yang disampaikan penulis di atas.

Sedikitnya, ada dua tolak ukur mengedepankan realitas golput sebagai pilihan. Pertama, sama sekali tidak berpartisipasi masuk ke bilik-bilik suara. Dan kedua, mencoblos lebih dari satu pilihan. Setidaknya kondisi ini terjadi pada pemilu 2004 lalu. Yaitu sebanyak 34 juta (22,56%) dari total jumlah calon pemilih, yaitu sebanyak 150 juta penduduk, terbukti golput.

Perjalanannya, golput bertambah manifes di sejumlah pilkadal yang terselenggara secara nasional pula. Di antaranya, pada Pilgub Sulsel, sebanyak 1.596.825 (golput) dari total suara yang masuk 3.701.306. Pilgub Jabar (golput 35, 7%), Pilgub DKI Jakarta (golput 36,2%), Pilgub Banten (golput 39,28%), Pilgub Sumatera Utara (golput 41%). Pilgub Sumbar (golput 35,70%), Pilbup Pati (golput mencapai 50%), Pilgub Jawa Tengah (golput 45, 25%), dan Pilgub NTT (golput 20%).

Sebut saja, Marselina (di NTT), salah seorang warga Kelurahan Sikumana, Kupang. Menurut pengakuannya, “Para gubernur tidak memiliki program pengentasan kemiskinan. Seharusnya, para calon gubernur menawarkan program pembangunan yang cocok dengan kebutuhan warga”.

Ungkapan Marselina nampak mewakili ekspresi kesadaran politik yang patut dihargai dan dikembangkan. Jadi, golput bukanlah apatisme, golput tidak sama dengan anti demokrasi, golput bukan barang mubazir, seperti yang disayangkan Amien Rais, dan pemboroskan anggaran negara. Sebaliknya, para pejabatlah yang sering melakukan pemborosan anggaran dengan anggaran sidang sekaligus menginap di hotel mewah, tunjangan laptop, mesin cuci, masih tak jera untuk ber-KKN di gedung dewan. Dan Amien Rais pernah berada di gedung itu. Suara golput ialah menolak jendral pelanggar HAM untuk kembali menduduki kekuasaan.

Golput lebih memiliki moril politik secara kritis dalam menilai elit politik, dan sistem pemerintahan yang hanya menghantarkan segelintir orang-orang yang ber-vested interest. Dan kembali paska pemilu 2009, berperilaku korup berjamaah, mengkonstitusionalkan sistem kerja kontrak/outsourcing, dan upah murah. Menaikkan harga BBM, mencabut subsidi, sembari menikmati kucuran hutang, dan modal asing. Tak banyak harapan perubahan yang dicita-citakan di pemilu 2009.

Bersikap golput, apabila dilakukan secara terbuka, dan terang-terangan menjadi bagian pendidikan politik dari, dan untuk rakyat. Ke depan, dapat menjadi kekuatan politik yang signifikan bagi perjuangan menentukan nasib perubahan rakyat. Sekali lagi, golput merupakan solusi, untuk bereaksi terhadap rejim yang sewenang-wenang, dan tidak pro rakyat, pada saat pemilu mendatang ini.

Keterpurukan belakangan ini, ibarat kapal yang sedang limbung. Benarkan ini perlu diselamatkan? Sebelum kapal itu bertabrakan dengan batu karang besar, sudah seharusnya kita periksa dulu siapa nahkoda dan awak kapal itu. Bila sudah terbukti para koruptor dan pro kaum pemodal, akan lebih baik jika kapal itu diambil alih kemudinya oleh para penumpang. Dan, jika rakyat ingin bergolput di pemilu 2009? Sebaiknya, golput sajalah!

* Penulis adalah Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia, dan anggota PRP Komite Kota Jakarta
Kata kunci: analisa umum, pemilu
tidak ada komentar

Bantuan Langsung Tunai, Problematika Sebuah Kebijakan Neoliberal Jul 6, '08 5:43 AM
untuk semuanya
Ken Budha Kusumandaru*

Pemerintah Indonesia terus-menerus berusaha meyakinkan rakyat bahwa subsidi BBM, yang selama ini dikeluarkan pemerintah, sebagian besar dinikmati oleh orang kaya. Dengan demikian, pemerintah merasa bahwa subsidi semacam itu tidak pada tempatnya dan harus digantikan dengan Bantuan Langsung Tunai yang ditargetkan pada orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan.

Yang tidak disadari banyak orang adalah bahwa pernyataan pemerintah ini sesungguhnya merupakan penyederhanaan yang berlebihan terhadap masalah. Masalah sesungguhnya adalah pergeseran dalam ideologi yang dianut pemerintah Indonesia—dari developmentalisme, yang diterapkan di era Orde Baru, menuju neoliberalisme. Paket kebijakan neoliberalisme digariskan oleh IMF dan Bank Dunia, yang bersama pemerintah negeri-negeri Barat, membentuk apa yang disebut orang sebagai Konsensus Washington. Secara umum, Konsensus Washington ini mempromosikan tenet liberalisasi, privatisasi dan keterlibatan minimal pemerintah dalam persoalan industrial. Lembaga-lembaga Keuangan Internasional ini berargumentasi bahwa kesejahteraan akan diraih melalui trickle-down effect dari manajemen sektor privat yang lebih efisien daripada negara, yang akan membuat negara memiliki lebih banyak sumberdaya yang dapat dipakainya dalam “subsidi tepat-sasaran” (James Haselip, 2004).

Kebijakan untuk membuat subsidi ditujukan kepada sasaran tertentu ini ditularkan pada negara-negara berkembang melalui instrumen-instrumen keuangan dunia, yang kini tidak lagi diberikan kepada “negara-negara miskin” tapi langsung kepada “orang-orang miskin” (Thandika Mkandawire, 2005). Salah satu bentuk pokok dari kebijakan keuangan dunia ini adalah bertumbuh pesatnya NGO-NGO di negara-negara berkembang, yang tidak lagi mengupayakan perbaikan sarana dan prasarana publik, melainkan mendorong terjadinya “parselisasi” dan “proyektisasi” terhadap kebijakan sosial.

Pentargetan yang salah sasaran

Penargetan subsidi seringkali dikampanyekan sebagai cara untuk membuat orang yang “benar-benar membutuhkan” mendapatkan apa yang menjadi haknya. Tapi, dalam realitasnya, kebijakan untuk membuat subsidi berlaku universal tanpa ditarget justru terbukti sanggup mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin (Mkandawire, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh di Honduras tahun 2003 menunjukkan bahwa subsidi listrik yang ditarget berdasarkan batas pemakaian ternyata bukan saja tidak efisien, melainkan juga memperbesar kesenjangan kesejahteraan (Haselip, 2004). Penelitian serupa yang dilakukan di Argentina menunjukkan bahwa perusahaan listrik negara yang telah diswastanisasi justru menolak untuk membangun jaringan listrik bagi warga di wilayah miskin. Pemerintah Argentina terpaksa memberikan subsidi lebih banyak lagi pada perusahaan listrik yang telah menjadi lembaga usaha swasta. Lebih besar daripada ketika perusahaan listrik itu masih menjadi milik negara dan subsidi diberikan secara universal, bukan tertarget. Subsidi untuk perawatan anak di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa manfaat subsidi ini tidak sampai pada targetnya, keluarga berpenghasilan rendah (Leonard Burman, et.al., 2005).

Bantuan Langsung Tunai juga terbukti menimbulkan stigmatisasi di kalangan orang miskin (Mkandawire, 2005). Bukan saja melalui kampanye pemerintah tentang “kaum peminta-minta”, keharusan untuk mengantri di depan publik untuk mendapatkan subsidi tertarget itu merupakan satu cap sosial, di mana orang banyak mengenali individu tertentu sebagai “miskin”. Konteks masyarakat kita saat ini menempatkan kemiskinan sebagai sebuah penyakit sosial, yang kerap digaungkan sebagai akibat dari kemalasan dan ketiadaan kemampuan untuk menanggung beban kesulitan. Dalam konteks ini, keharusan untuk antri menerima bantuan langsung merupakan satu stigmatisasi sosial yang panjang konsekuensinya.

Namun, di atas semua itu, penerapan sistem target pada subsidi untuk orang miskin dipasang oleh Bank Dunia dan IMF bersamaan dengan pencabutan sistem subsidi tertarget pada para pelaku pasar. Bersamaan dengan dianjurkannya Bantuan Langsung pada mereka yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan, Lembaga-lembaga Keuangan Dunia ini menganjurkan diterapkannya subsidi universal pada para pelaku pasar dalam bentuk lump sump transfer, penyeragaman tarif, penyeragaman aturan main, dan lain-lain.

Bantuan Langsung menghancurkan martabat rakyat kecil

Kisah sukses penerapan subsidi justru berasal dari sistem di mana pemerintah menerapkan subsidi universal, namun berlapis. Penelitian di negara-negara berpendapatan menengah ke atas (Mkandawire, 2005) menunjukkan bahwa akses universal terhadap subsidi merupakan jaminan akan adanya dukungan politik dari kelas menengah, berupa kemauan untuk membayar pajak, yang pada gilirannya akan dapat digunakan untuk membiayai program kesejahteraan masyarakat kecil.

Di tangah pemerintah-pemerintah yang tidak demokratis, seperti Indonesia di bawah Orde Baru, subsidi universal memang dapat disalahgunakan untuk membiayai kroni-kroni. Tapi, di bawah sebuah sistem yang demokratis, subsidi universal akan mendorong sebuah suasana ekonomi-politik yang lebih sehat.

Persoalan pemberdayaan juga harus diperhatikan secara seksama. Mengutip Amartya Sen, “Sistem subsidi yang menuntut orang untuk dikenali sebagai miskin dan dilihat sebagai peminta-minta yang tidak berdaya akan memukul balik pada harga dirinya, di samping juga rasa hormat orang lain terhadap mereka.” (Mkandawire, 2005). Pemerintah harus memikirkan cara pemberian subsidi yang membuat rakyat kecil merasa martabatnya terangkat.

Bantuan Langsung mengandung terlalu banyak mudharat ketimbang manfaat. Kalau pemerintah ini terus menerapkan Bantuan Langsung, rakyat di negeri ini akan makin miskin (karena bantuan itu niscaya salah sasaran) dan martabatnya makin terinjak-injak. Bagaimana mungkin kita “Bisa!” mengusung “kebangkitan nasional kedua” jika rakyatnya miskin dan tidak punya harga diri? ***

Sumber:

Burman, Leonard et.al. Tax Subsidies to Help Low-Income Families Pay for Child Care. 2005

Haselip, James. CSGR Working Paper No. 138/04. 2004
Mkandawire, Thandika. Social Policy and Development Programme Paper No 23. 2005

*Penulis adalah Ketua Div Pendidikan Komite Pusat PRP
Kata kunci: bbm, analisa umum
tidak ada komentar

Pertumbuhan orang kaya di Indonesia terpesat di kawasan Asia Tenggara? Jul 6, '08 2:54 AM
untuk semuanya
Ken Budha Kusumandaru*

Perusahaan manajemen investasi terbesar di dunia, Merrill Lynch, bersama perusahaan teknologi penelitian, Capgemini, secara tahunan mengeluarkan sebuah laporan yang diberi tajuk World Wealth Report (Laporan Kekayaan Dunia). Laporan ini memuat perkembangan dari apa yang mereka sebut sebagai HNWIs (High Net Worth Individuals--Individu dengan Nilai Kekayaan Bersih Tinggi). Untuk ada di daftar HNWIs, anda harus memiliki kekayaan sedikitnya USD 1 Milyar.

Ada hal yang mengejutkan dalam laporan terbarunya, yang dilansir pada tanggal 24 Juni 2008 ini, sebagaimana dapat diunduh dari situs mereka dengan alamat http://www.ml.com/media/100502.pdf. Dalam laporan ini, disebutkan bahwa pertumbuhan jumlah orang yang memiliki kekayaan di atas USD 1 Milyar di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara--bahkan mengalahkan pertumbuhan serupa di Singapura. Sekalipun dengan demikian jumlah HNWIs di Indonesia (23.000 orang) masih lebih rendah daripada Singapura (77.000 orang), percepatan pertumbuhan ini membuat senang para eksekutif keuangan dunia. Indonesia pun masuk kembali ke dalam kategori "emerging market" (pasar yang sedang berkembang) untuk produk-produk jasa keuangan dari kapitalis keuangan internasional.

Ini tentu hal yang mengejutkan dan membuat kita miris. Di saat krisis ekonomi belum berhasil di atasi, di saat PHK massal merajalela, di saat pemukiman kaum miskin perkotaan dibabat habis, di saat nelayan harus pergi menangkap ikan dengan memakai minyak tanah sebagai pengganti solar, di saat petani makin kehilangan tingkat kesuburan tanah akibat tergerus oleh bahan kimia ...di saat seperti ini jumlah orang kaya di Indonesia justru semakin bertambah.

Yang lebih membuat miris, pertumbuhan terbesar dari jumlah orang kaya ini terjadi di sabuk yang disebut dalam laporan ini sebagai "Ultra HNWIs"--yakni individu yang memiliki kekayaan minimal USD 30 Milyar. Di samping itu, sekalipun di banyak negeri tingkat tabungan secara nasional mengalami penurunan, pertumbuhan jumlah orang kaya ini masih ditopang oleh pembelanjaan komoditi yang oleh laporan ini disebut sebagai "passion investment"--investasi gairah--yakni pada barang-barang mewah: koleksi seni, mobil mewah, kapal pesiar, klub olahraga, buah tangan, koleksi minuman anggur, pesiar mewah dan produk jasa kesehatan. Ini benar-benar jenis komoditi yang tidak akan pernah terjangkau oleh rakyat pekerja. Ketika mayoritas penduduk di negeri-negeri Asia hidup makin tertekan ke bawah garis kemiskinan, Ferrari justru menikmati peningkatan penjualan paling besar di Asia-Pasifik.

Bagaimana mungkin, ketika kapitalisme sedang mengalami krisis, malah jumlah orang kaya terus meningkat? Bahkan makin pesat? Yang mungkin tidak anda ketahui atau sadari, sistem kapitalis bekerja sedemikian rupa sehingga justru di saat krisislah jumlah orang kaya akan meningkat makin pesat. Mari kita susuri sedikit watak asli kapitalisme yang membuahkan kontradiksi ini.

Dari mana datangnya kekayaan ini?

Kapitalisme mengajarkan efisiensi, penggunaan uang dengan ketat, pada proses produksi. Apa yang terjadi sehingga kapitalisme kemudian justru menyandarkan pertumbuhan orang kaya dalam sistemnya dengan mengandalkan barang-barang mewah, yang tidak ada gunanya bagi kemaslahatan masyarakat, dan murni merupakan pemborosan (sekalipun diberi label yang keren seperti "passion invesment")?

Memang masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut, tapi aku menengarai bahwa kapitalisme justru membutuhkan pemborosan seperti itu karena akumulasi kekayaan yang dilakukannya saat ini tidaklah berasal dari proses akumulasi normal dalam industri-industri--melainkan dari apa yang dikenal sebagai "akumulasi primitif".

Proses akumulasi normal dalam kapitalisme berlangsung dalam bentuk scam, penipuan, di mana rakyat pekerja dikibuli sehingga berpikir bahwa dia bekerja demi mendapat upah, dan upahnya sesuai dengan nilai kerjanya. Padahal, dia diupah sesuai nilai biaya yang dibutuhkan sekedar supaya dirinya bisa tetap bekerja lagi esok hari. Selisih antara nilai yang dihasilkan di tempat kerja dengan nilai biaya yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup si pekerja inilah yang diambil oleh kapitalis dalam bentuk "Nilai Lebih".

Proses akumulasi primitif berlangsung dalam bentuk yang lebih kasar. Akumulasi jenis ini berlangsung dengan perampasan tanpa tedeng aling-aling terhadap hak hidup rakyat pekerja, memenggal rakyat pekerja dari kemampuannya untuk bertahan hidup secara subsisten (Marx, 1999. Bab 26).

Orang seringkali salah memaknai kata "primitif" dan menganggap bahwa proses ini hanya terjadi sebelum kapitalisme menancapkan taring. Seakan-akan, proses akumulasi primitif ini mendahului proses akumulasi normal, dan tidak lagi muncul ketika proses akumulasi normal telah berlangsung. Padahal, proses ini terus berlangsung, mengiringi proses normal. Bahkan, di saat-saat proses akumulasi normal mengalami kemacetan, proses akumulasi primitif tampil lagi ke muka sebagai juru selamat bagi kapitalisme.

Dapat diibaratkan kapitalisme itu adalah seorang begal besar, yang setelah puas merampok orang di jalan, punya cukup uang untuk membuka usaha sendiri. Para mafia Amerika (baik yang berketurunan Italia, Sisilia, Latin maupun Kulit Hitam) masih melakukan ini sampai sekarang. Mereka membuka "bisnis keamanan" (sebagai penghalusan dari kata "pemerasan") di lingkungan tinggal mereka. Setelah cukup kaya, mereka mulai berpikir untuk "going legit", artinya membuka bisnis legal dengan uang yang telah mereka kumpulkan lewat pemerasan, pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya. Kita semua tahu sejarah berdirinya Las Vegas, seperti digambarkan dalam film tentang seorang mafioso terkenal Benjamin "Bugsy" Siegel. Las Vegas, sebagai sebuah "kota judi", didirikan oleh Bugsy Siegel dengan uang hasil pembayaran "kontrak" dari para kliennya. ("Kontrak" dalam kosa kata para mafioso berarti pesanan untuk membunuh orang.) Tapi dasarnya begal, jika usaha legal mereka mengalami kemacetan, para begal ini tidak akan segan kembali ke jalanan untuk kembali ke watak aslinya.

Begitulah kira-kira hubungan antara sistem akumulasi modal "normal" dengan akumulasi primitif.

Bagaimana proses akumulasi primitif dilancarkan di tengah-tengah epos di mana kapitalisme tengah berjaya?

Kunci dari akumulasi primitif adalah "penciptaan kelangkaan" (Perelman, 2000. Bab 5). Secara praktek, ini dilakukan dengan membuat rakyat pekerja tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi sendiri kebutuhannya, dan dengan demikian menjadi tergantung pada ekonomi pasar.

Secara tradisional, proses akumulasi primitif pasti melibatkan persoalan penggunaan lahan. Agar akumulasi "normal" dapat berjalan, rakyat pekerja tidak boleh mempunyai akses bebas pada lahan. Harus diterapkan peraturan-peraturan yang keras tentang penggunaan lahan.

Proses lain yang tidak kalah penting dalam persoalan kelangkaan ini adalah bagaimana menciptakan kelaparan. Ya, benar, tidak salah. Kelaparan, bagi kapitalisme, adalah bak cemeti bagi para pemilik budak. Orang yang kelaparan akan bersedia melakukan apa saja untuk mengurangi rasa laparnya. Dengan menciptakan kelaparan, kapitalisme dapat mengendalikan rakyat pekerja untuk keperluan apapun.

Di masa lalu, ketika kapitalisme baru saja bangkit di Eropa, rakyat pekerja dicerabut dari kemampuannya bertahan secara subsiten dengan berbagai macam undang-undang yang secara umum dikenal sebagai UU Berburu (Game Law). Di berbagai negeri, undang-undang berburu ini membuat rakyat pekerja kehilangan tanahnya karena tanah tersebut dinyatakan sebagai milik raja atau milik tuan tanah. UU Berburu ini juga membuat rakyat pekerja kelaparan karena mereka tidak bisa lagi menambah pasokan bahan makanan mereka, dan hanya dapat mengandalkan hasil tanah mereka yang sungguh pas-pasan. UU ini terbukti ampuh untuk memaksa para petani meninggalkan tanahnya dan pergi memburuh ke kota-kota.

Di masa kini, ketika kapitalisme sudah menancapkan kuku dan relatif telah meresap ke segala sudut kehidupan manusia, kedua unsur pokok akumulasi primitif masih dijalankan. Di Indonesia sendiri, kita lihat betapa kapitalisme modern melakukan perampasan tanah di mana-mana. Di masa krisis ini, perampasan hak atas lahan juga dilakukan dalam bentuk berbagai penggusuran di kota-kota--baik besar maupun kecil.

Kalau membuat rakyat lapar? Jelaslah apa yang dilakukan pemerintah dengan terjadinya berbagai krisis pangan, pencabutan subsidi BBM, dll. Sekarang saja sudah banyak orang yang mengurangi makan, entah sebagai upaya yang sengaja dilakukan, ataupun terpaksa karena porsi makanan di kantin-kantin juga semakin kecil.

Mungkinkah orang kaya di Indonesia bertambah pesat justru ketika krisis?

Melihat cara kerja kapitalisme, di mana akumulasi "normal" dan "primitif" ternyata saling menggantikan, dan justru akumulasi primitif yang brutal justru dikedepankan di masa krisis, nampaknya wajar kalau jumlah orang kaya di Indonesia justru meningkat pesat ketika krisis. Memang masih diperlukan analisa lebih mendalam, tapi tinjauan pendahuluan ini telah menunjukkan betapa kelas penguasa modal Indonesia ternyata memang serius untuk memiskinkan rakyat Indonesia: mereka memilih menggunakan akumulasi primitif yang brutal demi menyelamatkan diri mereka sendiri dari krisis ekonomi.

Jakarta, 27 Juni 2008

Sumber

---. World Wealth Report. Merrill Lynch and Capgemini. http://www.ml.com/media/100502.pdf. 2008.

Marx, Karl. Capital. Volume I. http://marxists.org/archive/marx/works/1867-c1/index.htm. HTML Transcription 1999.
Perelman, Michael. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Duke University Press. Durham & London. 2000.

*Penulis adalah Ketua Div Pendidikan Komite Pusat PRP
Kata kunci: analisa umum
tidak ada komentar

Phobia Isu BBM Jul 6, '08 2:47 AM
untuk semuanya
Fredy Wansyah*

Kenaikan harga BBM tidak mengenal kompromi bagi masyarakat miskin untuk menambah kemiskinan. Kanaikan tersebut yang jatuh pada akhir Mei lalu diikuti oleh naiknya harga-harga kebutuhan bahan pokok lainnya. Mengapa harga-harga bahan pokok harus mengikuti alur harga BBM? Mobilitas suatu barang di dalamnya yang berperan penting adalah bahan bakar minyak. Kendaraan sebagai materi yang tidak bernyawa tidak akan berpindah tanpa adanya bahan bakar. Paska klimaks Revolusi Inggris segala kendaraan (angkutan) diintensifkan sebagai alat mobilitas suatu barang.

Beberapa hari paska pengumuman harga BBM oleh pemerintah, pedagang-pedagang kaki lima dan sopir-sopir angkutan dipaksa untuk menyeimbangkan pengeluaran dengan pendapatan. Hasilnya harga-harga kebutuhan bahan pokok dan tarif angkutan melonjak rata-rata 20% - 50%. Harga beras misalnya dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 serta harga tarif angkutan berubah dari Rp 2.000 menjadi Rp 3.000.

Seorang pedagang nasi goreng di daerah Jatinangor menyerukan bahwa pemerintah tidak konsisten terhadap janjinya, “Sudah capek saya sama pemerintah kayak gitu,” tuturnya. Bahkan ia menambahi bahwa saat ini masih takut terhadap kenaikan BBM kembali. Sebelum kenaikan BBM, pedagang tersebut dapat mencukupi kebutuhannya dengan satu orang anak, namun setelah kenaikan harga BBM ia harus mencari tambahan melalui kerja sampingan setelah berdagang nasi goreng.

Hal serupa juga diikuti oleh pedagang putu bambu di kawasan Kampus Jatinangor yang tidak mengetahui rencana kenaikan harga BBM jika harga bahan bakar dunia terus melonjak yang kini telah berada di level $130 per barel. Seperti ketakutan yang ada dalam benaknya jika isu tersebut benar-benar terjadi. Putu bambu yang dijualnya hanya Rp 1.000 per tiga buah, seharinya dapat terjual sekitar 150 – 200 buah dengan pendapatan sekitar Rp 50.000 – Rp 67.000. Jika laba yang didapatnya sebelum kenaikan harga BBM Rp 15.000 – Rp 25.000, namun setelah kenaikan harga BBM laba tersebut menurun menjadi Rp 10.000 – Rp 13.000 hal tersebut juga dikarenakan penjualan yang menurun.

Pedagang putu bambu tersebut juga mengeluhkan BLT yang ditawarkan oleh pemerintah, karena pemerintah tidak mendata secara serius terhadap masyarakat miskin. “Bayangkan, Mas, saya mau makan apa kalau pendapatan cuma sepuluh ribu. Belum untuk uang sekolah anak. Padahal gubernur dulu waktu kampanye janji membuat sekolah gratis, tapi mana?” ujarnya.

Apa yang dirasakan oleh kedua pedagang tersebut merupakan sample dari Masyarakat Indonesia. Masyarakat tidak sedikit yang berprofesi sebagai pedagang. Jika kenaikan harga BBM akan terulang kembali yang diakibatkan melonjaknya harga minyak dunia, maka keharusan menaikkan harga-harga dagangan harus dilakukan. Hal ini akan mengakibatkan menurunnya penjualan dagangannya yang menjadikan pendapatan pun ikut menurun. Bayangan ke depan pedagang-pedagang tersebut terhadap kenaikan harga BBM berikutnya menjadi phobia, ironisnya aplikasi phobia tersebut dapat berakibat fatal. Seperti di media televisi beberapa hari paska kenaikan harga BBM, seorang pedagang bunuh diri karena masalah ekonomi.

Mengenai demo-demo yang dilakukan oleh mahasiswa, kedua pedagang tersebut menyepakatinya. “Demo kayak gitu kan untuk masyarakat juga, Mas, kata pedagang nasi goreng. Tetapi sangat disayangkan jika implikasi demo-demo tersebut berupa tindakan anarkis. Tindakan-tindakan anarkis mahasiswa tersebut menambah phobia masyarakat. Kekerasan mahasiswa dalam demo merekonstruksi masyarakat bahwa demo berkonotasi negatif".

Klimaks dari kemarahan mahasiswa terjadi pada tanggal 24 Juni di depan gedung MPR dengan tindakan anarkis. Pembakaran ban, pelemparan batu terhadap polisi, dan reaksi polisi menjadikan suasana demo merupakan ketakutan tersembunyi masyarakat. Meski sebagian masyarakat juga menyetujui tindakan mahasiswa tersebut, namun di sisi lain dari masyarakat yang tidak menginginkan adanya kekerasan menjadikan aksi tersebut menambah beban pikiran. Para orang tua yang memiliki anak berkuliah di sekitar Pulau Jawa, menjadikan hal tersebut menambah beban serta halusinasi phobiaisasi. Ketakutan terhadap anaknya menjadi pelaku aksi-aksi tersebut yang berujung pada kematian. Hal ini tidak terlepas dari traumaistik tragedi Mei ’98.
Tekanan terhadap pemerintah dari mahasiswa tersebut belum juga menemukan titik pencerahan. Sebaliknya, pemerintah berani mengalihkan isu kenaikan harga BBM. Kedua pedagang tersebut mengutarakan hal yang sama, yakni, “Kapan pemerintah mau nurutin masyarakat?”

*Penulis adalah anggota Front Demokratik Bandung dan anggota PRP Komite Kota Bandung
Kata kunci: bbm, analisa umum
tidak ada komentar

Perubahan Iklim dan Gender Jul 6, '08 2:43 AM
untuk semuanya
Desmiwati*

Di kehidupan keseharian, perempuan memiliki peran yang lebih besar ketimbang kaum laki-laki, dimana di satu sisi mereka ditempatkan pada posisi domestik, pada sisi yang lain mereka memegang peranan sosial-ekonomi dan memiliki pengaruh terhadap lingkungan dan budaya bahkan politik.

Dalam konteks perubahan iklim yang saat ini banyak dibahas dan sedang menjadi sorotan, perempuan memiliki beban yang jauh lebih besar dan sayangnya itu tidak menjadi suatu pokok bahasan utama dalam pembicaraan atau perdebatan tentang perubahan iklim global.

Beban perempuan sebagai akibat dari perubahan iklim terjadi karena beberapa faktor yang selama ini merupakan sesuatu hal yang dijadikan tanggung jawab kaum ibu di dunia, yaitu bagaimana mengelola ekonomi dalam rumah tangga, mengatur tersedianya kebutuhan semua anggota keluarga. Hilangnya pendapatan dari pertanian dan bertambahnya biaya pengelolaan sumber air, pesisir, dan penyakit serta risiko-risiko kesehatan akan menyeret aktivitas ekonomi, khususnya di negara-negara yang saat ini memiliki pertumbuhan stagnan. Ini menjadikan beban perempuan (kaum ibu) menjadi berat. Lebih jauh lagi, bahkan dengan ekonomi regional yang bertumbuh, dampak lokal perubahan iklim seperti kolapsnya perikanan atau terbenamnya lahan pertanian, dapat memporak-porandakan ekonomi lokal (Preston et al 2006).

United Nation Food and Agriculture Organisation (FAO) memperkirakan bahwa perubahan iklim akan berakibat pada menghilangnya produksi sereal sebesar 280 juta ton di 65 negara selatan. Berdasarkan riset CANA (CANA 2006) di negara -negara Selatan, perubahan iklim akan mengurangi produksi pertanian yang sangat tergantung pada hujan sebesar 11% di tahun 2080. Sebagian besar pemegang peranan dalam ekonomi rumah tangga adalah kaum ibu. Bisa dibayangkan bagaimana dampak yang harus ditanggung oleh kaum perempuan di pesisir dan pedesaan, sebagai akibat dari menurunnya pendapatan kaum tani dan nelayan karena perubahan iklim global.

Perubahan iklim memiliki kecenderungan sangat tinggi untuk merubah ketersediaan sumber air yang didorong oleh menurunnya curah hujan dan limpasan air di Asia Selatan dan Asia Tenggara serta meningkatnya limpasan di daerah lainnya, terutama di Pulau-pulau Pasifik dan sekitarnya. Ketersediaan air dan limpasan diperkirakan akan turun hingga 10% sampai 30% pada kawasan dengan ketinggian lintang rendah dan daerah tropika kering (IPCC WGII 2007). Beberapa daerah aliran sungai mungkin akan diuntungkan karena meningkatnya limpasan, namun tekanan karena air akan berdampak pada jutaan orang di seluruh wilayah Asia Pasifik dan biaya untuk menangani persoalan air (banjir dan kekeringan) akan meningkat. Musim penghujan diprediksikan akan berkurang sementara intensitas curah hujan maupun resiko banjir akan semakin meningkat (Preston et al 2006). Peran kaum ibu dalam sektor domestik (rumah tangga) adalah juga menjamin ketersediaan air bersih bagi keperluan rumah tangga, peranan sebagai penjamin pelayanan kesejahteraan dalam rumah tangga dan juga pemberi layanan kesehatan bagi anggota rumah tangga, menjadikan beban dan resiko yang harus ditanggung oleh kaum ibu (perempuan) akan menjadi berlipat-lipat akibat perubahan iklim terkait masalah ketersediaan air maupun kelimpahan air tersebut.

Perempuan di seluruh dunia secara umum memiliki tanggung jawab menyediakan energi rumah tangga, pangan, dan pelayanan kesehatan bagi anggota keluarga sebuah rumah tangga. Perubahan iklim akan berakibat secara tidak proporsional pada kemampuan perempuan untuk memenuhi tanggung jawab domestik, strategi penghidupan, dan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan tunai. Perempuan juga merupakan bagian dari masyarakat miskin yang akan dipaksa untuk mencari atau menemukan sumber daya alternatif jika lingkungan rusak akibat perubahan iklim dan menurunkan kemampuan lingkungan untuk pulih dari peristiwa-peristiwa ekstrem (IUCN).

Dengan demikian perubahan iklim memiliki karakteristik gender, dimana: Pertama, perempuan akan terkena dampak berbeda, dan lebih buruk akibat perubahan iklim hal ini sebagai akibat peran sosial, diskriminasi dan kemiskinan. Kedua, perempuan sejauh ini masih tidak terwakili kepentingannya dalam pengambilan-pengambilan keputusan terkait dengan perubahan iklim, emisi gas rumah kaca, dan adaptasi mitigasi. Ketiga, adanya bias gender dalam emisi karbon, pengukuran dampak sebagai akibat dari perubahan iklim dan emisi karbon tidak memikirkan pengaruhnya terhadap kaum perempuan secara khusus.

Perempuan harus diikutsertakan bukan hanya karena memiliki perspektif dan keahlian berbeda yang dapat disumbangkan, tetapi juga karena dampak ganda yang harus ditanggung kaum perempuan akibat buruknya kualitas udara dan lingkungan misalnya bagaimana dampak perubahan iklim dan lingkungan bagi sistem reproduksi kaum perempuan, bagi janin dan juga bagaimana tanggung jawab ekonomi kaum perempuan di dalam keluarga yang semakin berat.

Dengan berbagai kemungkinan dan resiko bencana yang besar sebagaimana di atas, maka semakin besar pula tekanan dan beban yang akan ditanggung oleh kaum perempuan. Oleh sebab itu dalam pembahasan tentang dampak perubahan iklim serta dampak emisi karbon keterlibatan perempuan sebagai kaum yang paling banyak dirugikan (di samping anak-anak), merupakan suatu keharusan. Perempuan sebagai makhluk sosial yang berada di garis depan perjuangan terhadap ketidakadilan ekologi, ketidakadilan iklim dan ketidakadilan pertanggungan beban sosial, ekonomi dan budaya.
Bagaimanapun juga perubahan iklim global sebagai bentuk kegagalan model pembangunan global yang mengacu pada model pembangunan neoliberal tidak bisa menjadikan negara-negara miskin di Selatan menanggung beban atas kesalahan model pembangunan yang eksploitatif tersebut. Terlebih lagi akibat yang harus ditanggung oleh kaum perempuan di selatan menjadi lebih besar karena tidak adanya perlindungan dan perhatian secara khusus kepada mereka.

*Penulis adalah Ketua Divisi Dana dan Usaha Komite Pusat PRP
Kata kunci: perempuan
tidak ada komentar

Tidak ada komentar: