lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita lintasberita

World News

Jumat, 06 Januari 2012

TINGKATKAN PERSATUA PROGRESIF UNTUK REORGANISASI PRODUKSI

Pidato Politik Pimpinan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
Nomor: 401/PI/KP-PRP/e/XII/11
(Disampaikan pada Deklarasi Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional)
Rakyat Pekerja Makin Terancam: Tingkatkan Persatuan Progresif untuk Reorganisasi Produksi
Bandung, 10 Desember 2011
…Keadilan sosial yang dimaksud di dalam Pancasila itu adalah Sosialisme. Maka oleh karena itu jangan menderita penyakit Sosialisme fobi…” (Soekarno)
Kawan-kawan Rakyat Pekerja,
Apa yang kita rasakan sebagai rakyat pekerja saat ini? Adalah keluhan massal. Tentang tingginya biaya untuk membeli pangan, energi, air, pendidikan, kesehatan, transportasi/otomotif, telekomunikasi, dan lain-lain. Hal tersebut masih ditambah oleh biaya untuk perumahan, baik sewa maupun kredit pemilikan. Jadi, apabila rakyat pekerja mengeluh, bukanlah karena kulturnya yang acapkali di-stigma “malas bekerja, rendah kualitas, dan gemar mengeluh”. Namun, keluhan itu merupakan gambaran krisis Indonesia saat ini!
Sejak tahun-tahun lalu kami telah menyatakan dengan tegas, bahwa krisis Indonesia dewasa ini adalah akibat penggadaian Indonesia ke “Kantor Gadai Neolib” oleh oligarki pimpinan negara kita. Namun oligarki pimpinan negara kita berkilah dengan amat tangkasnya sembari mengeluarkan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yang pada kuartal terakhir tahun ini dinyatakan naik mencapai 6,5%. Sedangkan angka kemiskinan berhasil ditekan mencapai angka 31 juta jiwa dari 240 juta penduduk Indonesia. Hal ini kontras dengan keluhan massal yang terjadi di seluruh Indonesia mengenai kondisi sosio-ekonomis kenyataan rakyat pekerja.
Sungguh luar biasa perbedaan antara angka dan kenyataan! Mana yang benar: keluhan rakyat pekerja atau angka statistik yang diumumkan pimpinan negara?
Tahukah kawan-kawan, dari mana angka pertumbuhan ekonomi itu diperoleh? Sungguh ironis, angka pertumbuhan ekonomi nasional itu diperoleh dari konsumsi domestik kita yang teramat tinggi, yakni meliputi seluruh biaya pengeluaran rakyat pekerja untuk konsumsi pangan sebesar 51,43% dan non-pangan sebesar 48,57% (BPS, 2011). Pengeluaran untuk pangan terakumulasi pada kenaikan harga pokok biji-bijian, termasuk beras yang pada tahun ini mengalami kenaikan sebesar 5% dari tahun lalu (FAO). Biang keladi kenaikan pangan dinyatakan berasal dari krisis nilai tukar mata uang, krisis energi, dan bencana alam. Pengeluaran untuk non-pangan terakumulasi pada pengeluaran energi, otomotif, telekomunikasi, kesehatan, dan pendidikan. Oleh sebab itu, industri telekomunikasi dan investasi otomotif mengalami kenaikan signifikan di Indonesia sebagai penyumbang ekonomi nasional terbesar di bawah konsumsi domestik rakyat pekerja.
Kami tegaskan, bahwa sumbangan untuk pertumbuhan ekonomi nasional itu diperoleh dari tenaga dan upah rakyat pekerja yang minim, dari panen pertanian yang makin menurun, dari tangkapan ikan yang makin kecil-kecil jenisnya, dari keuntungan seperak-dua perak pedagang eceran! Dari penghasilan yang serba minim itu, rakyat pekerja dipaksa belanja dengan biaya tinggi. Seiring dengan kemiskinan rakyat pekerja itu, ekonomi Indonesia terselamatkan karena kesehatan ekonomi nasional secara keseluruhan sebesar 54,3% disumbang oleh belanja konsumsi rumah tangga tadi.
Tetapi, sampai kapankah rakyat pekerja di Indonesia sanggup bertahan sebagai konsumen pangan dan non-pangan biaya tinggi? Sedangkan malapetaka pangan sudah berada di depan pintu, siap mengancam keadaan keluarga kita!
Kawan-kawan Rakyat Pekerja,
Apa hubungan antara malapetaka pangan dengan belanja rumah tangga rakyat pekerja dan pertumbuhan ekonomi nasional? Bagaimana menghubungkan semua masalah itu dengan tuntutan upah buruh (UMP/UMK), tuntutan kedaulatan basis produksi agraris (pertanian dan kemaritiman), dan tuntutan pedagang eceran terhadap ruang kota untuk berjualan?
Mari kita pelajari tentang pembangunan kapitalis-neoliberal yang menggunakan akar kolonialisme abad ke-19 sampai 20 guna pengerukan bahan baku di Nusantara.
Pertama, kolonialisme di Indonesia mengambil tanah rakyat untuk dijual ke pengusaha Eropa, sekaligus pemerintah kolonial membuka perkebunan tanaman komoditas untuk pemenuhan konsumen Eropa seperti tebu, kopi, coklat, nila, karet, rempah, yang merupakan bahan baku untuk fashion, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Ketika Tanam Paksa diberlakukan, pemerintah kolonial telah menghancurkan tanaman rakyat untuk keperluan konsumsi domestik. Selain itu eksploitasi pertambangan dan energi juga diperuntukkan bagi pemenuhan konsumsi energi dan bahan baku industri di Eropa.
Kedua, krisis ekonomi dunia yang berkali-kali terjadi jauh sebelum memasuki era 2000-an, akibat krisis minyak dan krisis finansiil, telah melahirkan neoliberalisme untuk kembali menjajah teritorial Selatan-Selatan (mayoritas negara mantan jajahan dan negara miskin) melalui perundang-undangan. Terjadinya penyusutan fosil sumber energi minyak di satu pihak dan, di lain pihak, adanya kenaikan konsumsi energi oleh industri manufaktur, otomotif, serta rumah tangga, mendorong agresivitas ekspansi teritorial untuk mencari sumber energi alternatif. Itulah sebabnya, eksplorasi baru di bidang industri ekstraktif semakin signifikan untuk mencari energi baru yang dapat diperoleh dari tanaman pangan. Pertanian pangan di Indonesia yang telah cukup lama mengalami proses involutif (bantat), sejak 2000-an telah diubah peruntukannya untuk perkebunan tanaman yang menghasilkan sumber energi terbarukan seperti tebu dan kelapa sawit. Pengalihan tanaman pangan untuk energi ini lantas menghancurkan dan mengalihkan tanaman pangan biji-bijian sebagai konsumsi kalori rakyat pekerja. Petani dengan tanah sempit merupakan sisa-sisa penanam biji-bijian yang sebenarnya sudah tergusur.
Itulah kawan-kawan rakyat pekerja, mengapa kemudian harga beras, gandum, dan biji-bijian penghasil kalori untuk mengenyangkan perut kita harganya semakin mahal. Soalnya tanaman pangan kita makin sedikit, sedangkan pemerintah kita mengatasinya dengan belanja ke pasar dunia berupa impor beras, gula, cabe, bahkan garam. Semua bahan baku untuk pupuk, peternakan, pengolahan ikan juga diperoleh dari impor. Sama halya ketika persediaan minyak Indonesia sudah menipis, pemerintah kita pun mengimpor dari pasar dunia. Bahan baku untuk energi listrik seperti batubara yang dihasilkan oleh bumi Indonesia sendiri, nyatanya harus dibeli pemerintah dari pasar dunia. Maka tak heran jika semua kebutuhan untuk keberlangsungan hidup rakyat pekerja mahal harganya. Nyatalah kita akan mengalami malapetaka kelaparan karena tanaman pangan telah digusur untuk komoditas bahan baku industri dan konsumsi global Utara-Utara.
Tetapi, sayang seribu sayang, oligarki pimpinan kita selalu memanipulasi kenyataan itu dengan mengalihkan biang keladi masalah krisis pangan kepada perubahan iklim. Petani gagal panen beras dan garam dinyatakan karena batasan hujan dan kemarau tidak menentu. Nelayan gagal panen ikan karena gelombang laut tak menentu. Sedangkan hampir setiap hari kita mendengar dan mengetahui terjadinya pembukaan lahan baru atau pengalihan lahan tanaman pangan menjadi perkebunan tanaman untuk sumber energi. Kita juga kerap mendengar pengambil-alihan tanah untuk eksplorasi pertambangan dan energi. Kini hampir seluruh tanah tempat hidup rakyat pekerja, bumi di Indonesia, dialihkan bagi peruntukkan ekspansi, eksplorasi, dan eksploitasi energi dan bahan baku tambang. Bagaimana tidak terjadi krisis pangan di Indonesia?
Kawan-kawan rakyat pekerja, jelaslah bahwa krisis pangan bukanlah sekedar bukti tidak adanya persediaan pangan! Apalagi pemerintah selalu menimpakan kesalahannya pada perubahan iklim. Krisis pangan juga bukan sekedar karena kebijakan pemerintah yang tidak becus mengatur sirkulasi pangan. Apalagi oligarki politik pimpinan negara selalu menimpakan kesalahan kepada pesaingnya. Namun, lebih jauh dan susbtansial, krisis pangan dipicu oleh pembangunan kapitalis-neoliberal yang mempunyai akar pada kolonialisme. Sedangkan oligarki pimpinan negara di Indonesia memilih hidup bergandengan tangan dan berangkulan mesra bersama kapitalis-neoliberal, ketimbang menyelamatkan rakyat dari malapetaka pangan!
Kawan-kawan Rakyat Pekerja,
Kita mungkin akan tetap bisa mengkonsumsi pangan sekali pun ketersediaannya makin langka. Namun, karena bahan pangan yang langka, kita harus membayar dengan rupiah cukup besar. Mampukah rakyat pekerja membelinya? Sungguh mengerikan! Apa yang bakal terjadi ketika rupiah dan bahan pangan sama-sama langkanya? Itulah ancaman kita, kawan-kawan! Suatu ancaman di masa penjajahan neoliberal dan oligarki pimpinan kita lebih suka menjadi kaki-tangannya dengan menggadaikan bumi dan tenaga rakyatnya.
Lalu dari mana rakyat pekerja memperoleh uang untuk memenuhi konsumsi biaya tinggi sehingga menyumbang pertumbuhan ekonomi nasional? Itu berasal dari “jaring-jaring berbagi hutang”, kawan-kawan! Upah buruh yang minim sudah habis pada pertengahan bulan, serupa dengan nelayan, petani, dan pedagang eceran. Untuk tetap dapat belanja pangan mereka hutang pada warung sembako. Karena barang-barangnya banyak dihutang, lalu warung sembako pun hutang pada agen di mana mereka kulakan. Mereka juga hutang kepada sesama kawan, tetangga, kerabat, pengijon, dan rentenir. Di pedesaan penghasil pisang, ibu-ibu rumah tangga berhutang uang tunai ke pengijon dengan meng-ijonkan pohon pisang yang baru akan ditanam. Di kalangan urban, ibu-ibu pekerja pabrik yang lokasi pabriknya berjarak jauh dengan rumahnya, mengambil kredit sepeda motor dan untuk pembayarannya mereka berhutang kepada rentenir. Mereka meng-ijonkan upah tunainya kepada rentenir sebagai jaminan perlunasan hutang. Berkat “jaring berbagi hutang” ini barang-barang pangan dan non-pangan tetap dapat terjual, sehingga sirkulasi uang tidak terganggu peredarannya. Di samping itu buruh, tani, nelayan acapkali menjadi agensi perdagangan ritel untuk menambah penghasilan. Tetapi mereka tetap berada di dalam “jaring berbagi hutang”.
Kawan-kawan seperjuangan,
Ada pendapat bahwa “rakyat pekerja memilih diam sekali pun hidup dalam tekanan”. Memang mayoritas kesadaran rakyat pekerja masih belum progresif. Semua tahu arti progresif adalah bergerak maju ke depan. Tetapi kini telah bermunculan perlawanan dari rakyat pekerja di semua sektor, baik yang disebut pekerja blue colar dan white colar, maupun petani yang tanah dan teritorialnya diambil-alih bagi peruntukan industrialisasi ekstraktif.
Sejauh mana rakyat pekerja saat ini telah membangun gerakan yang progresif?
Pertama, munculnya aksi menuntut kenaikan upah dan hak normatif oleh buruh yang telah berserikat di bidang pertambangan, transportasi, telekomunikasi, merupakan reaksi atas penjajahan neoliberal di bidang ekstraktif. Mari kita dukung pemogokan buruh Freeport yang mencapai hitungan tiga bulan untuk menuntut kenaikan upah. Kita sambut aksi-aksi semacam itu di kalangan buruh white colar BUMN di bidang transportasi seperti Garuda dan Kereta Api, yang menuntut kenaikan upah, perbaikan kesejahteraan dan menolak sistem kerja kontrak/outsourcing. Kita dukung aksi penolakan sistem kerja kontrak/outsourcing di tengah privatisasi pendidikan tinggi muncul dari serikat pekerja Universitas Indonesia. Aksi-aksi juga dilakukan oleh kalangan serikat buruh Telkomsel, media massa, galangan kapal, dan manufaktur.
Kedua, kita dukung aksi-aksi perlawanan dari rakyat yang teritorialnya digadaikan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat ke TNC/MNC maupun perusahaan oligarki pimpinan negara. Aksi ini terjadi di Kabupaten Banggai (energi/gas), Kabupaten Gorontalo (emas), Kota Palu (emas), Kabupaten Banyuwangi (emas), Kabupaten Kulon Progo (pasir besi), dan daerah-daerah lainny. Seturut dengan aksi ini ialah aksi petani melawan teritorialnya yang mengandung sumber air dan perkebunan, yang hal ini terjadi hampir di seluruh Indonesia.
Ketiga, kita dukung aksi dari serikat buruh PLN yang dengan gigih menolak privatisasi PLN. Mereka sudah meningkat dari aksi kenaikan upah, melainkan telah memikirkan harga yang harus dibayar oleh rakyat pekerja di seluruh Indonesia ketika PLN telah dijual ke TNC/MNC. Implikasi penjualan perusahaan negara energi ini untuk rumah tangga dan perusahaan ialah semua harga pemenuhan hidup akan turut naik pula.
Kawan-kawan seperjuangan,
Meski aksi-aksi menuntut kenaikan upah, mempertahankan teritorial, dan menolak privatisasi perusahaan negara untuk hajad hidup orang banyak, selama ini masih sektoral dan lokal. Namun, itulah gerak politik-sosial-ekonomi rakyat pekerja yang akan mencapai kondisi progresif menuju kesadaran nasional. Meski pemberangusan serikat pekerja dari kaki-tangan neoliberal juga mengancam di mana-mana, tetapi siapa yang akan mampu menghentikan perlawanan rakyat pekerja yang tertindas dan terancam lapar?
Oleh sebab itu kami, Perhimpunan Rakyat Pekerja, mengapresiasi lahirnya sebuah konfederasi multi-sektor rakyat pekerja yang mempersatukan buruh, petani, nelayan, perempuan, dan masyarakat adat dalam satu wadah perjuangan gerakan yang diberi nama Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia atau Konfederasi PERGERAKAN. Ini merupakan “buah ranum sejarah” dari progresifitas gerakan rakyat pekerja sejak penghancuran gerakan rakyat pekerja dalam Tragedi 1965. Kami berharap Konfederasi ini dapat mempersatukan gerak perlawanan rakyat pekerja multi-sektor yang mempertahankan teritorial lokalnya dalam satu perlawanan untuk melawan oligarki politik yang menggadaikan Indonesia dan mengusir penjajahan neoliberal
Dengan demikian, langkah selanjutnya, kita membutuhkan kepimimpinan politik yang tangguh yang tak lain adalah sebuah organisasi politik rakyat pekerja. Di bawah kepemimpinan organisasi politik rakyat pekerja, sebuah trajektori untuk reorganisasi produksi, kita lakukan. Untuk itu, persatuan rakyat pekerja mempunyai tugas melakukan nasionalisasi atas industri vital bagi hajad hidup rakyat pekerja yang mencakup hulu dan hilir serta melikuidasi perundang-undangan neoliberal. Reorganisasi produksi harus dilalui dengan perjuangan politik rakyat pekerja mentransformasi sistem ekonomi yang sosialistik. Hanya dengan sistem ekonomi yang sosialistik, pembangunan kesejahteraan rakyat pekerja dapat diwujudkan!!
Mari kita lawan krisis pangan dan ancaman kelaparan! Mari kita lawan segala bentuk sistem kerja tenaga upahan yang melemahkan posisi buruh! Mari kita lawan privatisasi aset negara yang mempunyai peruntukan bagi rakyat pekerja! Mari kita lawan penggadaian teritorial sumberdaya alam kepada penjajah NEKOLIM (neoliberalisme-kolonialisme-imperialisme)!!
Jangan lelah perjuangkan Sosialisme!
Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!
Bandung, 10 Desember 2011
Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP)
Ketua Nasional
ttd.
(Anwar Ma’ruf)
Sekretaris Jenderal
ttd.
(Rendro Prayogo)

Tidak ada komentar: